Jika Tiga Kali Dipanggil Mangkir, Polisi Bisa Paksa Ahmad Dhani dan Mulan Jameela
Polisi akan menerbitkan surat perintah membawa secara paksa para saksi kasus kasus dugaan penghinaan terhadap Presiden oleh Ahmad Dhani.
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polisi akan menerbitkan surat perintah membawa secara paksa para saksi kasus kasus dugaan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo oleh musisi Ahmad Dhani.
Surat perintah itu akan diterbitkan jika para saksi mengabaikan surat panggilan ketiga.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya melayangkan surat panggilan kepada para saksi dalam kasus dugaan penghinaan Presiden oleh Ahmad Dhani. Mereka diminta hadir di Mapolda Metro Jaya, Kamis (24/11/2016).
Namun, dari delapan orang yang dipanggil, hanya Eggi Sudjana yang memenuhi panggilan.
Ketujuh saksi lainnya di antaranya adalah Rizieq Shihab, Amien Rais, Munarman, Ratna Sarumpaet, Mulan Jameela, dan Ahmad Dhani.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Awi Setiyono mengatakan, pihaknya akan segera melayangkan surat pemanggilan berikutnya.
Namun Awi belum mendapat informasi dari penyidik tentang jadwal pemeriksaan ketujuh saksi itu. "Belum tahu tanggalnya," ujar Awi di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (25/11/2016).
Awi menjelaskan, jika para saksi tetap tidak datang setelaH polisi mengirimkan surat panggilan ketiga, maka polisi bisa menerbitkan surat perintah membawa secara paksa.
"Panggilan itu sampai tiga kali. Yang ketiga itu bisa dengan surat perintah membawa," katanya.
Pemeriksaan para saksi itu dilakukan untuk menindaklanjuti pelaporan dari Laskar Relawan Jokowi (LRJ) dan Projo yang melaporkan Ahmad Dhani karena diduga menghina Presiden Jokowi saat berorasi pada demo 4 November.
Pakar hukum pidana, Muzakir menilai, polisi keliru dalam menyangkakan Pasal 207 KUHP untuk kasus Ahmad Dhani.
"Pasal penghinaan terhadap presiden itu sudah direvisi oleh MK. Kalau sudah diuji di MK maka pasal penghinaan terhadap presiden ya sudah tidak ada lagi. Kalau dikenakan Pasal 207 itu keliru juga," ujar Muzakir, Jumat.
Adapun Pasal 207 KUHP berbunyi, barang siapa dengan sengaja di muka umum menghina suatu penguasa atau badan hukum akan diancam pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan.
"Pasal itu kan menyebutkan penguasa. Presiden bukan penguasa. Presiden adalah presiden," katanya.
Muzakir menjelaskan, dahulu ada Pasal yang mengatur tentang penghinaan terhadap Presiden atau pun Wakil Presiden.
Peraturan tersebut tertuang dalam Pasal 134 KUHP.
Namun, Pasal tersebut saat ini telah dihapuskan.
Pada 4 Desember 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 013-022/PUU-IV/2006 telah menghapus pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Permohonan judicial review itu diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis.
MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.
Oleh karena itu, menurut Muzakir, jika Pasal 134 sudah dihapus, maka seyogyanya polisi tidak bisa mengenakan seseorang yang menghina presiden dengan Pasal 207 KUHP.
Sebab, menurut dia, dalam pasal tersebut menyebutkan penguasa dan bukan presiden.
"Dengan menggunakan pasal 207 KUHP, berarti penyidik polisi menyamakan presiden dengan penguasa. Penguasa itu sejajar dengan Kapolsek, Kapolres, Kapolda atau Kapolri, misalnya begitu. Masa presiden disamakan dengan itu. Sebagai jabatan lho ya," kata Muzakir.
Muzakir menyampaikan, jika memang Presiden Jokowi merasa keberatan dengan perkataan Ahmad Dhani, maka harus dirinya sendiri yang melapor.
Namun, dalam laporan itu, Jokowi membuat laporan seperti warga biasa dan tidak membawa embel-embel kepala negara. Jika begitu, maka polisi bisa menyertakan Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik dalam laporan tersebut.
Sama seperti saat Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono yang melaporkan Zaenal Maarif atas tuduhan pencemaran nama baik. Dalam laporan tersebut, Kata Muzakir, polisi menyangkakan Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik.
"Masa SBY pakai Pasal 310 KUHP Jokowi pakai Pasal 207 KUHP," ucapnya.
"Polisi jadi seolah-olah mau membela presiden, tapi malah justru merendahkan martabat presiden. Karena presiden itu derajatnya tidak sama dengan penguasa. Presiden itu kepala negara. Masa presiden kepala negara dianggap penguasa. Ya keliru juga," sambungnya.
Seperti diberitakan, Ahmad Dhani dilaporkan ke polisi oleh Laskar Rakyat Jokowi (LRJ) dan Projo pada Senin (7/11). Dhani dilaporkan ke polisi karena dinilai telah menghina Presiden.
Polisi menerima pelaporan tersebut dan menerapkan Pasal 207 KUHP tentang Penghinaan terhadap Penguasa dalam proses pengusutannya. (tribunnews/glery/abdul qodir/kompas.com)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.