Alasan Fahri Hamzah Bela Setya Novanto
Ketua DPP Partai Nasdem Luthfi A Mutty menuturkan, pergantian Ketua DPR merupakan urusan internal Partai Golkar.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyatakan pengunduran diri Setya Novanto sebagai Ketua DPR tidak berarti menghapus hak Ketua Umum Partai Golkar tersebut untuk kembali menjabat pimpinan tertinggi di Dewan.
"Saya enggak bisa enggak bela Setya Novanto karena dia memang dizalimi, percakapan privat dijadikan alat bukti. Sekarang baca Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang baru," kata Fahri saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (28/11/2016).
Menurut Fahri, saat itu Novanto mundur dari kursi Ketua DPR karena tekanan politik.
Saat itu pula, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) belum mengeluarkan putusan untuk Novanto.
Sehingga menurut Fahri, tak ada alasan yang bisa menjegal Novanto untuk jadi Ketua DPR.
"Apalagi dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi terkait keabsahan bukti rekaman percakapan Novanto bahwa itu tidak sah karena tak seizin pengadilan, itu semakin menguatkan bila tekanan politik yang membuat Novanto mundur tidak berdasar," lanjut Fahri.
Sebelumnya, Ketua DPP Partai Nasdem Luthfi A Mutty menuturkan, pergantian Ketua DPR merupakan urusan internal Partai Golkar.
Meski begitu, dirinya menyayangkan adanya wacana pergantian dari Ade Komarudin ke Setya Novanto tersebut.
Menurut dia, Setya Novanto yang sebelumnya menjabat Ketua DPR, telah memutuskan mundur dari jabatannya.
"Kita hidup berdasarkan aturan hukum itu penting. Tapi di atas aturan hukum ada etika. Etika persoalannya moral. Ini perlu diperhatikan," kata Luthfi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/11/2016).
Rapat pleno DPP Partai Golkar yang memutuskan Novanto kembali menjadi Ketua DPR dilakukan pada Senin (21/11/2016).
Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid mengatakan, keputusan ini diambil dengan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi terkait kasus "Papa Minta Saham" yang menyeret nama Novanto.
Keputusan MK tersebut dikuatkan dengan keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI yang tidak pernah menjatuhi hukuman untuk Novanto.
Adapun Novanto mundur dari kursi ketua DPR pada Desember 2015 lalu karena tersangkut kasus "Papa Minta Saham". Novanto dituding mencatut nama Jokowi untuk meminta saham kepada PT Freeport Indonesia.
Penulis: Rakhmat Nur Hakim