Ditangkap karena Tudingan Makar, Kivlan Zein Mengaku Tak Kesal
Kivlan Zein, mengaku tak kesal terhadap Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) lantaran ditangkap aparat gabungan
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mayjen (Purn) Kivlan Zein, mengaku tak kesal terhadap Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) lantaran ditangkap aparat gabungan karena dianggap akan melakukan makar pada aksi damai, Jumat 2 Desember lalu.
Kivlan yang berperan sebagai negosiator dalam pembebasan para WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf di Filipina ini justru ditangkap aparat setelah kembali ke Tanah Air.
"Saya enggak kesal, saya ketawa aja. Ini dua hal yang beda. Soal penyelamatan WNI itu bukan saya ingin tunjukkan jasa saya. Saya berbuat begini lalu minta publik menghargai? Saya enggak perlu itu," kata Kivlan saat ditemui, Sabtu (3/12).
Ia mengaku membantu menyelamatkan para sandera Abu Sayyaf di Filipina didasari aspek kemanusiaan karena WNI merupakan instrumen dari Bangsa Indonesia. Tanpa bantuan pemerintah, ia masih merasa bertugas untuk melakukan penyelamatan WNI.
"Benderanya ya bendera kemanusiaan, tidak diminta oleh perusahaan apa-apa, ini inisiatif saya sendiri saya mau bebaskan mereka. Kalau mereka mau kasih hadiah, saya terima kasih. Kalau tidak, yah enggak apa-apa," kata Kivlan. "Biar Joko Widodo atau Mega yang jadi presidennya, saya tak perhatikan itu. Yang penting, karena yang disandera itu karena orang Indonesia," katanya.
Sementara, untuk status makar, ia mengatakan tak malu lantaran menjadi target polisi karena masalah politik. "Saya kerjakan supaya orang tahu bahwa pemerintahan sekarang tidak benar dan tidak adil," ujarnya.
Kini, Polri sudah menetapkan tujuh tersangka perkara dugaan makar terhadap pemerintah. Meski sudah mengantongi sejumlah alat bukti untuk menjerat ketujuh orang itu, namun penyidik masih mencari bukti kuat lainnya.
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan, salah satu petunjuk yang masih dikejar penyidik adalah keterkaitan antara tujuh tersangka itu dengan ajakan sejumlah orang untuk menduduki gedung MPR/DPR pada aksi super damai 2 Desember 2016.
"Ada upaya memprovokasi umat untuk dibawa ke Gedung MPR/DPR RI dan mendesak sidang istimewa menggulingkan pemerintah sah," ujar Martinus.
Sebelum shalat Jumat bersama di Lapangan Silang Monas, lanjut Martinus, ada sejumlah orang menggunakan mobil mengajak massa untuk bertolak ke Gedung MRP/DPR RI. Martinus menegaskan, orang tersebut bukanlah bagian dari massa aksi super damai.
Sebab, para pimpinan aksi itu sudah sepakat dengan Polisi hanya menggelar shalat Jumat bersama di Lapangan Silang Monas tanpa harus berorasi di jalanan. "Nah, kami menduga ajakan-ajakan ini dalam rangka bagian dari rencana itu (makar)," ujar Martinus.
Martinus enggan menjelaskan apa yang sudah didapatkan penyidik soal informasi itu.
"Intinya ada informasi A, B, C dan D yang sementara ini masih dalam tahap penyidikan. Yang jelas ada informasi seperti itu dan harus dikonstruksi menjadi sebuah sangkaan. Ini butuh waktu," ujar dia.
Ketujuh orang itu ditetapkan sebagai tersangka atas perkara dugaan makar sebagaimana yang diatur dalam Pasal 107 juncto Pasal 110 juncto Pasal 87 KUHP. Ketujuh itu yakni Rachmawati Soekarnoputri, Kivlan Zein, Ratna Sarumpaet, Adityawarman, Eko, Alvin dan Firza Husein.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan bahwa ketujuh tersangka itu berupaya memanfaatkan ruang kebebasan untuk melahirkan ide atau gagasan berbau hasutan yang bisa disalahartikan dan dapat menggulirkan reaksi dan pendapat orang lain.
Sementara itu, adik kandung Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri akan diperiksa atas dugaan makar bila kondisinya sudah membaik. Kapolri menegaskan, 11 orang ditangkap termasuk Rachmawati, Kivlan Zen, Ahmad Dhani dan Sri Bintang Pamungkas terkait dugaan makar.
Delapan orang tidak ditahan sedangkan sisanya berada dalam rutan Polda Metro Jaya.
"Kita pertimbangkan kesehatan seperti Bu Rachma, tensinya naik," kata Tito.
Penasihat Hukum Rachmawati, Yusril Ihza Mahendra lalu meminta pemeriksaan ditunda dengan alasan kesehatan. Polisi kemudian mempersilakan Rachmawati dibawa ke RS. "Kita bantu melalui dokter kepolisian," kata Tito.
Selain itu, Tito juga mengungkapkan alasan lain aktivis tersebut tidak ditahan. Sebab, polisi masih memerlukan bukti-bukti yang cukup.
"Sehingga pemeriksaan terus berkembang dan terus berjalan," kata Tito. (tribunnws/ferdiand/yurike/ikang)