Ketika Penambahan Wewenang TNI Memberantas Terorisme Jadi Polemik di Parlemen
Revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih menui pro dan kontra.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih menui pro dan kontra. Terutama, dalam hal pelibatan TNI.
Hal itu diungkapkan anggota Komisi III Arsul Sani saat Seminar Nasional bertema Preventive Justice dalam Antisipasi Perkembangan Ancaman Terorisme di Jakarta, Selasa (6/12/2016).
Arsul mengatakan, saat ini yang masih menjadi isu besar dalam pembahasan itu yakni perluasan wewenang yang diberikan kepada aparat penegak hukum.
Namun, perluasan itu dikhawatirkan justru berbenturan dengan hak asasi manusia. “Isu kecilnya, bagaimana menempatkan peran TNI dalam penanggulangan terorisme,” ujarnya.
Beberapa waktu lalu, kata dia, TNI meminta agar peran mereka dalam menangani persoalan terorisme ditambah. Terutama terkait penanganan aksi teror terhadap presiden dan wakil presiden beserta keluarganya.
Selain itu, TNI juga meminta agar aksi terorisme terhadap WNI di luar negeri, terhadap kedutaan besar dan perwakilan di luar negeri, terhadap kapal dan pesawat terbang juga menjadi wilayah yang dapat mereka tangani.
“Serta aksi terorisme kapal dan pesawat terbang negara sahabat di wilayah Indonesia dan aksi terorisme di wilayah ZEE,” kata dia.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I Hanafi Rais tak setuju dengan usulan penambahan wewenang TNI di dalam pemberantasan terorisme.
UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, kata dia, telah mengatur batasan penindakan terorisme yang dapat ditangani TNI.
“Kalau mengancam kedaulatan negara, maka keterlibatan TNI bisa didorong dalam ruang yang proporsional. Pelibatan TNI harus atas persetujuan Presiden,” ujarnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.