Butuh Lima Unit, Ini Kegunaan Monitoring Satelit yang Dikorupsi
Bakamla membutuhkan lima unit monitoring satelit yang akan ditempatkan di Tarakan, Ambon, Kupang, Semarang dan Jakarta.
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadaan monitoring satelit Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang bernilai ratusan miliar kini berujung suap dan sedang dalam penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Berdasarkan penelusuran Tribun di situs LPSE, Bakamla membutuhkan lima unit monitoring satelit yang akan ditempatkan di Tarakan, Ambon, Kupang, Semarang dan Jakarta.
Berdasarkan pengumuman tersebut, diketahui program pengadaan tersebut untuk peningkatan keamanan dan keselamatan di laut dan pada kegiatan peningkatan pengelolaan data dan informasi Kamla.
Selain pengadaan monitoring satelit, Bakamla juga menyelenggarakan pengadaan dua pengadaan lainnya yakni long range camera beserta tower, instalasi dan training Bakamla dan pengadaan backbone coastal surveillance system yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System BIIS.
Tiga pengadaan tersebut untuk memperkuat sistem pengawasan (Surveillance System) yang dimiliki Indonesia. Peralatan itu akan terintegrasi dengan seluruh stasiun yang dimiliki oleh Bakamla RI.
Data-data dari perlatan tersebut nantinya bisa diakses di Pusat Informasi Maritim (PIM) yang berada di kantor pusat Bakamla RI.
Khusus mengenai pengadaan monitoring satelit Bakamla diadkan mulai 9 Agustus 2016 hingga 7 September 2016. Lelang telah dilakukan melalui sistem pembelian online atau e-procurement.
Pada pengumuman pelelangan umum dengan pascakualifikasi sebenarnya anggaran yang disebutkan yakni nilai pagu adalah Rp 402.710.273.000 dan nilai total HPS (harga perkiraan sementara) adalah Rp 402.273.025.612.
Akan tetapi, Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkapkan anggaran tersebut telah dipotong menjadi Rp 200 miliar.
Wakil Ketua KPK La Ode Muhammad Syarif menyayangkan telah terjadi kasus korupsi padahal anggaran tersebut sebenarnya memang telah dipotong.
"Karena pengadaan ini sangat strategis untuk keamanan dan kepentingan RI yang dikelola Bakamla. Ini adalah sesuatu yang sangat penting kalau anggaran pertahanan negara saja dikorupsi akan berdampak pada ketahanan RI," kata La Ode Muhammad Syarif sebelumnya.
Ternyata, walau sudah secara online, praktik suap tidak bisa dilepaskan.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkapkan tender online tidak menghilangkan suap karena spesifikasi yang ditentukan, dalam hal ini Bakamla, bisa saja disesuaikan kepada spesifikasi barang yang dimiliki rekanan tertentu.
"Tender online ini sama sekali tidak bisa menghilangkan. Karena itu juga menentukan spek kan begitu spesifikasi saya mengarah pada orang tertentu maka sulit untuk bersaing secara sehat di tender online," kata Agus Rahardjo.
KPK menangkap tangan Deputi Informasi Hukum dan Kerjasama sekaligus Pelaksana Tugas Sekretaris Utama Badan Keamanan Laut, Eko Susilo Hadi.
Eko Susilo tertangkap basah menerima suap Rp 200 miliar (dalam bentuk Dollar AS dan Singapura) dari pegawai PT Technofo Indonesia, Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus.
Uang tersebut adalah pemberian pertama dari total komitmen antara Edi Susilo dengan PT Technofo Rp 15 miliar atau 7,5 persen dari nilai proyek.
KPK kemudian menetapkan Eko Susilo, Muhammad Adami Okta dan Hardi Stefanus sebagai tersangka.
Eko Susilo ditahan di Rutan Polres Jakarta Pusat, Adami Okta ditahan di Rutan KPK cabang Pomdam Jaya Guntur, sementara Hardi Stefanus ditahan di Rutan Polres Jakarta Timur.
KPK juga menetapkan satu tersangka lainnya yakni Direktur PT Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah. Fahmi hingga kini masih berada di luar negeri dan diimbau segera pulang ke Indonesia.