Majelis Ulama Indonesia: Kami Tidak Pernah Tolerir Aksi Sweeping
Ia mengaku sudah menerima banyak laporan terkait pemaksaan pemakaian atribut nonmuslim terhadap seorang muslim.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernyataan Pandangan dan Sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: Kep-1228/MUI/XII/2016 yang berisi larangan seorang muslim mengenakan atribut nonmuslim, adalah untuk melindungi umat Islam dan bangsa Indonesia menurut Ketua MUI, Ma'ruf Amin.
Ia mengaku sudah menerima banyak laporan terkait pemaksaan pemakaian atribut nonmuslim terhadap seorang muslim.
Hal itu terutama diterima oleh para pegawai di restoran, hotel dan sejumlah kantor pemerintah. Ma'ruf Amin menyebut pemaksaan tersebut adalah bentuk penentangan dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Panasila dan prinsip Bhineka Tunggal Ika.
"Atribut natal disuruh dipakai orang Islam, itu yang jadi masalah, orang Islam tidak mau, karena terpaksa, karena karyawan, takut dipecat, pemaksaan ini," ujarnya dalam konfrensi pers di kantor MUI, Jakarta Pusat, Selasa (20/12/2016).
Oleh karena itu MUI mengeluarkan fatwa tersebut, dengan harapan pemerintah dan pihak terkait lainnya mau menerima fatwa tersebut sebagai sumber hukum positif. Selain itu MUI berharap semua pihak dapat menghargai fataw tersebut, dan menerapkannya.
Kalaupun masih ada yang melanggar, hal itu bukan berarti bisa diambil tindakan tegas. Ma'ruf Amin menegaskan bahwa pihaknya menolak Organisasi Masyarakat (Ormas) aksi sweeping atau penyapuan.
Ia juga menegaskan bahwa tindakan tesebut hanya boleh dilakukan aparat penegak hukum. "Kami tidak pernah mentoleransi (aksi) sweeping-sweeping itu," ujarnya.
Ma'ruf Amin mengajak ormas untuk ikut membantu MUI, dengan cara membantu mensosialisasikan warga atas fatwa tersebut, sehingga masyarakat tahu dan tidak salah mepresepsikannya, dan pihak perusahaan maupun kantor pemerintah mau menerapkan aturan tersebut.
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengaku sudah berkoordinasi dengan MUI soal fatwa larangan atribut natal. "Kami sudah koordinasi dengan MUI, bahwa domain penegakan itu adalah domain pemerintah, kepolisian," ungkap Tito Karnavian.
Sebagai tindak lanjut dari koordinasi dengan MUI itu, Tito Karnavian mengaku langsung menginstrusikan ke jajaran polisi di daerah untuk melakukan koordinasi dengan berbagai stakeholder untuk menjaga ketertiban masyarakat.
Termasuk juga membangun komunikasi dengan ormas agar tidak bertindak melanggar hukum. Apabila ditemukan ada ormas yang melakukan sweeping, Tito meminta anggotanya untuk menangkap dan diproses hukum.
Jenderal bintang empat ini mengatakan pihaknya tidak akan ragu menerapkan pasal pidana pada ormas yang tidak mau dibubarkan ketika melakukan sweeping. Bahkan hukuman akan diperberat apabila ada korban atas sweeping itu.
"Kalau tidak mau bubar, tangkap. Gunakan pasal 218 KUHP. Barang siapa yang diperintahkan bubar tapi tidak membubarkan diri dapat dipidana. Kalau melawan, ada korban, itu ancamannya 7 tahun," tambah Tito Karnavian.
Kapolri juga menjelaskan, pihaknya akan mengirimkan Perwiranya ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai perantara kedua instansi (Liason Officer) Hal itu dikatakan oleh Tito guna berkomunikasi jika terdapat Fatwa MUI yang bersifat sensitif bagi keberagaman di Indonesia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.