Tercatat 13 Hakim, Pejabat dan Pegawai Pengadilan Diduga Terlibat Korupsi Sepanjang 2016
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FHUI melihat korupsi menjadi isu utama permasalahan institusi peradilan di Tahun 2016.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FHUI melihat korupsi menjadi isu utama permasalahan institusi peradilan di Tahun 2016.
Berdasarkan catatan MaPPI FHUI, terdapat 13 Hakim, Pejabat, dan Pegawai Pengadilan yang diduga terlibat kasus korupsi sepanjang tahun 2016.
"Mirisnya, di antara oknum pengadilan yang diduga terlibat tersebut adalah Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi," kata Kepala Divisi Pemantauan Peradilan, Muhammad Rizaldi dalam keterangan tertulis, Kamis (22/12/2016)
Terhadap permasahalan korupsi peradilan tersebut, MaPPI FHUI melihatnya dari tiga hal, yakni rekrutmen, pengawasan, dan pimpinan.
Menurut Rizaldi, satu permasalahan korupsi peradilan akan sangat berkaitan dengan kualitas SDM yang merupakan hasil dari rekrutmen Mahkamah Agung.
Tahun 2016, Mahkamah Agung kembali menyelenggarakan rekrutmen Hakim Ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
"Proses kali ini pun tak luput dari masalah dimana hampir 75 persen calon hakim ad hoc tersebut tidak memiliki pengetahuan hukum dasar dan tindak pidana korupsi yang baik," kata Rizaldi.
Rizaldi menilai permasalahan tersebut muncul karena Mahkamah Agung belum menetapkan suatu standar kebutuhan dan kriteria akan Hakim Tipikor yang ideal.
Sehingga orang-orang yang tidak berkualitas bisa lolos proses seleksi.
Selain itu, sebagian besar calon hakim ad hoc juga memiliki catatan mengenai integritasnya.
Selanjutnya, kata Rizaldi, sinergitas dan koordinasi pengawasan yang dilakukan antara Badan Pengawasan MA dan KY tidak berjalan dengan baik.
"Tidak jarang MA tidak melaksanakan rekomendasi hasil pemeriksaan hakim yang dilakukan KY," katanya.
Lanjut dia, di sisi lain, MA dan KY sering berbeda pendapat dalam melihat pelanggaran etik yang dilakukan hakim.
Perdebatan kedua lembaga, lanjut Rizaldi, sangat terasa dalam pembahasan RUU Jabatan Hakim.
Khususnya berkaitan dengan konsep 'shared responsibility' antara MA dan KY dalam pengelolaan manajemen hakim.
"Permasalahan tidak berhenti pada tataran etik dan disiplin hakim. Sejak tahun 2009, penindakan terhadap hakim yang diancam dengan sanksi berat dilakukan melalui Majelis Kehormatan Hakim (MKH)," kata Rizaldi.
Sayangnya, lanjut Rizaldi, hasil keputusan MKH tidak serta merta diikuti dengan langkah penegakan hukum.
Padahal, setengah dari kasus yang ditangani MKH adalah kasus penyuapan dan permainan perkara.
Rizaldi menuturkan level pimpinan MA memiliki pekerjaan rumah menunjuk posisi Sekretaris yang telah kosong sejak 28 Juli 2016 lalu.
Sebab, sekretaris yang lama, Nurhadi, mundur akibat terlibat dalam kasus korupsi penanganan perkara.
Merespon pengunduran diri tersebut, Mahkamah Agung menyelenggarakan seleksi terbuka untuk pengisian jabatan Sekretaris Mahkamah Agung.
Hingga saat ini sudah ada tiga nama dari tujuh nama yang lolos hingga tahapan saat ini.
Tiga nama tersebut antara lain Aco Nur, Imron Rosyadi, dan Achmad Setyo Pudjoharsoyo.
"Mengingat strategisnya posisi Sekretaris MA dalam reformasi peradilan, seleksi harus dilakukan dengan melihat pada integritas, kapasitas manajerial organisasi, dan pemahaman akan business process di lembaga peradilan," kata Rizaldi.