Angka Kekerasan Terhadap Jurnalis Sepanjang Tahun 2016 Tertinggi dalam 10 Tahun
Berdasarkan, kategori pelaku kekerasan tertinggi dilakukan oleh warga dengan 26 kasus
Editor: Yudie Thirzano
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tahun 2016 menjadi tahun berbahaya bagi jurnalis di Indonesia.
Selain masih banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan, terdapat juga regulasi yang menindas media dan jurnalis, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Di tahun yang sama, terjadi pembiaran atas kasus intoleransi dan pengekangan ekspresi yang berbeda di berbagai daerah.
Hal itu terungkap dalam catatan akhir tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang dipaparkan Ketua AJI Suwarjono dan Sekjen Arfi Bambani Amri, di Jakarta, Jumat (23/12/2016).
Menurut data yang dihimpun AJI, selama Januari-Desember 2016, setidaknya, ada 78 kasus kekerasan dan satu kasus pembunuhan terjadi.
Berdasarkan, kategori pelaku kekerasan tertinggi dilakukan oleh warga dengan 26 kasus, diikuti oleh polisi 13 kasus, pejabat pemerintah (eksekutif) 7 kasus, dan TNI, orang tidak dikenal, aparat pemerintah daerah (Satpol PP) masing-masing 6 Kasus.
"Jumlah kekerasan terhadap jurnalis sepanjang tahun ini adalah yang tertinggi sejak 10 tahun terakhir," kata Suwarjono.
Menurut data yang dipaparkan AJI, pada tahun 2016 tercatat 78 kasus kekerasan yang melanda jurnalis terkait tugas jurnalistik mereka. Selama 10 tahun terakhir angka kekerasan terhadap jurnalis dilaporkan AJI berikut ini: tahun 2006 (54 kasus), 2007 (75 kasus), 2008 (58 kasus), 2009 (38 kasus), 2010 (51 kasus), 2011 (45 kasus), 2012 (56 kasus), 2013 (40 kasus), 2014 (40 kasus) dan 2015 (42 kasus).
Sementara itu, untuk kategori jenis kekerasan tahun 2016 yang diuraikan Suwarjono, jenis kekerasan fisik masih berada dalam posisi tertinggi, atau 35 kasus. Disusul oleh pengusiran atau pelarangan liputan 17 kasus, Ancaman kekerasan atau teror 9 kasus, dan perusakan alat atau data hasil liputan ada 7 kasus. Untuk kategorisasi wilayah, Jakarta Pusat dan Medan menempati posisi tertinggi, dengan 7 Kasus. Sementara Makassar 4 Kasus, dan Bandung dan Bandar Lampung, 3 Kasus.
Dari berbagai kasus tersebut, AJI secara khusus mencermati tiga kasus yang cukup menyita perhatian. Yakni kasus pengeroyokan enam jurnalis Medan oleh aparat TNI AU. Mereka adalah Array Argus (Harian Tribun Medan), Teddy Akbari (Harian Sumut Pos), Fajar Siddik (Medanbagus.com), Prayugo Utomo (Menaranews.com), Andri Safrin (MNC News) dan DE (Matatelinga.com).
DE adalah jurnalis perempuan satu-satunya yang mengalami pelecehan seksual. Sementara itu, kasus lain adalah pengeroyokan jurnalis NetTV, Sonny Misdananto di Madiun oleh TNI AD, dan perampasan alat oleh TNI AU dalam peristiwa kecelakaan pesawat latih di Malang, Jawa Timur.
Dalam siaran persnya, AJI menyebut TNI yang selama Orde Baru menuai kritik karena terlibat dalam urusan sipil (juga politik) dan cenderung melakukan pendekatan keamanan sebagai cara menyelesaikan persoalan, menunjukkan kembali gejala serupa.
Hal itu tampak dalam kasus pengeroyokan di Medan. Demonstrasi yang dilakukan warga sipil untuk menuntut penyelesaian hak-haknya, direspon dengan “keliru”, dan berakhir dengan bentrokan. Jurnalis yang saat itu ada di lokasi untuk merekam semua kejadian itu, justru menjadi sasaran kemarahan anggota TNI.
Hal yang sama terjadi dalam kasus Madiun dan Malang, Jawa Timur, Palu Sulawesi Tengah dan DKI Jakarta. Di Madiun, Jurnalis Net TV yang mengabadikan momen penertiban lalu lintas (yang disertai dengan pukulan dan tendangan) oleh aparat TNI pada masyarakat sipil setempat, justru berbalik mengeroyok jurnalis .
Begitu juga di Malang, provinsi yang sama. Peristiwa kecelakaan pesawat latih TNI di lingkungan sipil, yang membuat TNI merasa perlu melakukan penjagaan. Ujungnya, hal itu berbuah perampasan alat-alat kerja jurnalis yang melakukan peliputan itu. Dalam kasus ini, TNI AU mengaku bersalah dan sudah bersedia minta maaf. Namun, hal itu jauh panggang dari api. Pengakuan bersalah harusnya diteruskan dengan pengusutan tuntas secara hukum positif Indonesia.
Namun, ketika TNI membawa persoalan ini di muka hukum, problem belum juga berakhir. Dalam kasus Madiun misalnya, AJI menilai ada ketidakseriusan. TNI tidak cukup transparan dalam proses penyidikan kasus-kasus itu.
Padahal, transparansi menjadi salah satu cerminan kesungguhan dalam menyelesaikan kasus kekerasan pada jurnalis. Semakin tertutup proses penyelesaian kasus, maka publik semakin kesulitan melakukan proses pemantauan kasus.
Kekerasan terhadap jurnalis terus terulang salah satu penyebabnya tidak ada penegakan hukum terhadap para pelaku. Dari 78 kasus yang terjadi sepanjang tahun 2016, tidak ada satupun kasus yang diproses hukum hingga dibawa ke pengadilan. Termasuk kasus-kasus kekerasan yang dilakukan aparat penegak hukum. Baik dilakukan oleh TNI, polisi, satpol PP, aparat pemerintah hingga warga.
"AJI Indonesia menilai kepolisian telah gagal melindungi kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat. Dua tahun berturut-turut polisi menjadi pelaku kekerasan terbanyak kedua setelah warga. AJI pada perayaan Hari Kebebasan Pers Dunia tahun 2016 lalu menetapkan polisi sebagai musuh kebebasan pers 2016 setelah sebelumnya, 2015, penghargaan serupa juga disematkan kepada korps baju coklat ini," tulis AJI.
Sejak AJI Indonesia menganugerahkan polisi sebagai musuh kebebasan pers tahun 2015 lalu, hingga kini belum tampak ada perubahan. Polisi gagal mereformasi diri sebagai pelayan dan pengayom publik. Desakan AJI agar kepolisian mengusut tuntas kasus pembunuhan delapan jurnalis yang hingga kini belum diketahui pelakunya hingga kini belum ada tindak lanjut.
Delapan jurnalis yang tewas karena pemberitaan tersebut adalah Muhammad Fuad Syahfrudin alias Udin (jurnalis Harian bernas Yogyakarta tewas tahun 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi, Kalimantan Barat tewas 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press tewas di Timor-Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaludin (jurnalis TVRI di Aceh, tewas 17 Juni 2003), Ersa Siregara (jurnalis RCTI tewas 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis tabloid Delta Pos, tewas 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal Merauke, tewas 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas 18 Desember 2010).
Menurut AJI, terkait buruknya penanganan sederet kasus di atas, tidak mengherankan bila kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia sudah sampai pada taraf mengkhawatirkan, dalam 10 tahun terakhir. Indonesia dalam kebebasan pers dan berekpresi terbaru menurut data World Press Freedom Index 2016 yang dirilis Reporters Sans Frontiers (Prancis) menyebutkan berada di posisi merah. Dalam ranking 130 dari 180 negara. Posisi ini bahkan berada di bawah Timor Leste, Taiwan dan India. Ini sangat ironis mengingat tahun 2017, Indonesia akan menjadi tuan rumah World Press Freedom Day (WPFD).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.