Polemik Penghinaan Pancasila, Ada Apa dengan Militer Australia?
Bagaimana tidak, Falsafah bangsa Indonesia, Pancasila, direndahkan oleh oknum militer mereka dengan plesetan ’Pancagila.’
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM - Dengan adanya insiden di salah satu fasilitas pelatihan Australian Defence Force (ADF) yang berada di Perth, hal tersebut memang terasa terlalu menyakitkan bagi bangsa ini, terlebih TNI yang berhubungan langsung dengan mereka.
Bagaimana tidak, Falsafah bangsa Indonesia, Pancasila, direndahkan oleh oknum militer mereka dengan plesetan ’Pancagila.’
Akibat insiden tersebut, TNI melakukan pada penarikan prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang bertugas sebagai instruktur pengajar di markas Pasukan Khusus Australia (Special Air Service Regiment/SASR) kembali ke tanah air.
Tak hanya itu, TNI pun membekukan kerja sama militer dengan Australia yang diberlakukan pada pertengahan Desember 2016 hingga waktu yang belum ditentukan kapan akan dilakukan normalisasi kembali.
“TNI memang punya kerja sama pertukaran instruktur pasukan elite, yakni antara Komando Pasukan khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat dengan pasukan elit Angkatan Darat Australia atau Special Air Service Regiment (SASR). Pada saat mengajar di sana, ditemukan hal tidak etis sebagai negara sahabat yang mendiskresikan TNI dan bangsa Indonesia, bahkan ideologi bangsa Indonesia,” terang Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo dalam sebuah kesempatan di Jakarta, Kamis (5/1/2017).
Seperti yang ia sampaikan, pendiskreditan TNI itu ada dalam materi atau bahan ajar, misalnya tentang peran TNI di Timor Timur (sekarang Timor Leste) dan Papua. Hal tersebut tentu saja membuat TNI tersinggung. “Terlalu menyakitkan sehingga tidak perlu dijelaskan,” ungkapnya.
Yang lebih membuat TNI marah, tambah Gatot, ketika instruktur Kopassus yang mengajar di Perth melihat tulisan Pancasila dipelesetkan menjadi ‘Pancagila.’ “Dari situ maka saya tarik guru tersebut dan saya hentikan dulu,” tegasnya.
Gatot pun mengatakan, bahwa ia telah melapor ke Presiden terkait keputusannya menghentikan kerja sama antara TNI dengan militer Australia. “Presiden itu atasan saya, pimpinan saya. Yang saya lakukan pasti dilaporkan,” tandasnya.
Dalam kesempatan yang berbeda, seorang pengamat kebangsaan pun menyayangkan hal itu dapat terjadi.
“Intinya kalau sudah menyangkut penghinaan terhadap lambang atau falsafah negara, apalagi oleh institusi negara lain yang dalam hal ini Pasukan Khusus Angkatan Darat Australia, wajib pemerintah negara tersebut meminta maaf secara resmi kepada Indonesia,” tegas Adityo Nugroho dalam pesan singkatnya.
Dirinya menerangkan, Indonesia sebagai negara yang memiliki prinsip politik luar negeri bebas-aktif berdasarkan Pembukaan UUD 1945-nya bersahabat dengan setiap negara, selama tidak melanggar norma-norma yang ada.
“Akan tetapi jika marwah dan kedaulatannya disinggung, Indonesia dapat memutuskan hubungan persahabatannya dengan siapapun, bahkan sampai presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat menyatakan perang,” jelasnya.
Baginya, itikad TNI untuk mengutus delegasinya menjadi pengajar di Australia merupakan bentuk komitmen TNI pada negara sahabat atau tetangga dalam konteks menjaga perdamaian.
“Seharusnya Angkatan Bersenjata Australia menghormati dan menghargai komitmen tersebut bukan sebaliknya,” pungkasnya.
Ini bukan kali pertama hubungan antara Indonesia dengan Australia menjadi kurang harmonis. Sebelumnya pada tahun 2013, Canberra melalui Badan Intelijennya, Defense Signal Directorate (sekarang Australian Signal Directorate/ASD) telah melakukan penyadapan percakapan telepon Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu menjabat sebagai Presiden RI dan beberapa pejabat lainnya.
Dokumen rahasia penyadapan tersebut dibocorkan oleh Edward Showden, yang merupakan mantan anggota CIA (Central Intelligence Agency) Amerika Serikat.