Anas Urbaningrum Pakai Masker dan Topi Saat Diperiksa KPK Terkait Kasus KTP Elektronik
Anas Urbaningrum membantah keterlibatannya dalam kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011-2012.
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum membantah keterlibatannya dalam kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011-2012.
Anas Urbaningrum mengatakan keterangan bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin tidak kredibel.
"Kalau itu kan jelas tidak benar. Toh kalau keterangan dia sejauh menyangkut saya jelas sangat tidak kredibel," kata Anas Urbaningrum usai diperiksa di KPK, Jakarta, Selasa (10/1/2016).
Baca: Anas Urbaningrum dan Nazaruddin Diperiksa KPK
Anas Urbaningrum tidak banyak berkomentar mengenai pemeriksaannya hari ini.
Bekas ketua fraksi Partai Demokrat tersebut mengaku penyidik menanyakan hal-hal yang dia tidak ketahui.
"Hal-hal yang dikonfirmasi hal-hal yang saya tidak tahu yang saya jelaskan bahwa saya tidak tahu," kata dia.
Anas Urbaningrum hari ini mengenakan topi dan masker.
Baca: Setya Novanto Akui Hadiri Pertemuan Terkait Pembahasan e-KTP
Terpidana kasus korupsi dan pencucian uang proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Bogor, itu mengaku sedang flu.
Sekadar informasi, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin sempat menyebut keterlibatan Setya Novanto.
Kata Nazaruddin, Setya Novanto bersama dengan bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum disebut mengatur jalannya proyek e-KTP.
Masih kata Nazaruddin, Setya Novanto mendapat 'fee' 10 persen dari Paulus Tannos selaku pemilik PT Sandipala Arthaputra yang masuk anggota konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia.
Konsorsium tersebut adalah pemenang tender proyek e-KTP. Selain itu ada juga PT Sucofindo (Persero), PT LEN Industri (Persero) dan PT Quadra Solution yang mengelola dana APBN senilai Rp 5,9 triliun tahun anggaran 2011 dan 2012.
Negara diduga menderita kerugian Rp 2,3 triliun karena dikorupsi.