Oknum Kepala Daerah Ketahuan Lakukan Jual-Beli Jabatan? Ini Penyebabnya Menurut ICW
"Ada faktor utama, yakni tekanan dari atasan. Kalau di daerah, kepala daerah atau DPRD yang memaksa korupsi dalam bentuk jual beli jabatan"
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menilai, birokrasi bukan satu-satunya celah terjadinya praktik jual beli jabatan.
Menurut dia, faktor utama terjadinya modus korupsi tersebut adalah kepala daerah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di daerah.
"Ada faktor utama, yakni tekanan dari atasan. Kalau di daerah, kepala daerah atau DPRD yang memaksa korupsi dalam bentuk jual beli jabatan," ujar Ade dalam diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (12/1/2017).
Menurut Ade, dalam penelitian ICW mengenai tren pemberantasan korupsi sejak 2004 hingga semester awal 2016, secara tetap birokrasi menempati urutan pertama terjadinya modus korupsi.
Namun, ternyata birokrasi bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya jual beli jabatan. Dalam penelitian lebih lanjut, birokrasi hanya sebagai alat atau eksekutor dari keputusan yang dibuat oleh pejabat tinggi, atau kepala daerah.
Dalam konteks jual beli jabatan, menurut Ade, para bawahan memang dipaksa oleh kepala daerah untuk membeli jabatan. Birokrasi digunakan untuk melayani keinginan atasan.
Misalnya, untuk kenaikan jabatan, seorang pejabat pemda harus menyetorkan uang kepada kepala daerah.
Tak hanya itu, untuk mempertahankan posisi, seorang pejabat juga dipaksa untuk mengeluarkan uang.
Menurut Ade, salah satu solusi untuk mencegah kepala daerah melakukan jual beli jabatan adalah dengan memperkuat institusi semacam Komisi Apratur Sipil Negara (KASN).
Keberadaan lembaga independen semacam KASN diharapkan dapat membuat proses manajemen pemda seperti rekrutmen dan mutasi pejabat tidak didasari kepentingan politik atau pragmatis.
"Kepala daerah kalau cuma ditangkap tidak akan pernah kapok. Presiden harus berfokus untuk memperkuat kelembagaan seperti KASN," kata Ade.
Penulis: Abba Gabrillin