DPD Ingatkan Jokowi Soal Relasi Sosial yang Semakin Renggang
Gejala ini mengkhawatirkan, karena bukan hanya terjadi di Jakarta tetapi benih-benihnya sudah muncul hampir di seluruh Indonesia.
Penulis: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Semenjak kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Non Aktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok diproses kepolisian hingga saat ini memasuki tahap persidangan, suhu politik dan sosial di Indonesia begitu panas.
Gejala ini mengkhawatirkan, karena bukan hanya terjadi di Jakarta tetapi benih-benihnya sudah muncul hampir di seluruh Indonesia.
Relasi sosial yang sebelumnya terjalin baik, kini semakin renggang dikarenakan masyarakat terpecah pendapatnya menyikapi pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu yang menafsirkan kitab suci agama yang tidak dia pahami dan yakini.
Baca: Fahira Idris: Penetapan Buni Yani Sebagai Tersangka Terlalu Berlebihan
Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris mengingatkan Pemerintah, bahwa situasi yang terjadi saat ini jika dibiarkan terus akan dimanfaatkan oleh para provokator untuk menemukan momentum memecah bangsa.
Saat ini, lanjutnya, besarnya potensi gesekan yang bisa dimanfaatkan provokator sangat lengkap. Bukan hanya antarumat beragama, tetapi juga antar antargolongan, antarpandangan politik, bahkan etnis.
Bahkan gesekan umat di dalam satu agama yang sama juga berpotensi terjadi karena terpecah pandangan soal Ahok yang kemudian merambat ke persoalan-persoalan lain.
“Sepanjang hidup, baru kali ini saya melihat dan merasakan langsung relasi sosial yang begitu renggang. Masyarakat terpecah-pecah bahkan sudah berhadap-hadapan dan punya potensi beradu gara-gara pernyataan tidak sensitif seorang pejabat publik,” tukas Fahira Idris, di Jakarta (24/1/2017).
Dalam situasi seperti ini, menurut Fahira, Pemerintah harusnya mampu berdiri di semua golongan, menjadi bapak, menjadi pengayom, menjadi problem solver.
Hindari pernyataan dan kebijakan yang malah membuat Pemerintah secara tidak sadar menempatkan dirinya menjadi bagian dari masalah. Presiden, lanjut Fahira, harus bersedia menjangkau dan berdiri di semua golongan, walaupun golongan tersebut berbeda pandangan politik dan tidak memilih dia pada saat Pilres 2014 lalu.
“Kuncinya cobalah berdiri di semua golongan. Evaluasi sudah sejauh mana Presiden menjangkau semua golongan terutama yang berbeda pandangan politik dengan dia. Saya juga berharap, setelah mengundang pimpinan parpol, pimpinan tinggi negara, ormas-ormas besar keagamaan, Presiden juga mengundang para ulama penggerak Aksi Bela Islam dalam ‘safari makan siang’ nya di Istana,” ungkap Senator Jakarta ini.
Menurut Fahira, situasi yang terjadi saat ini di Indonesia adalah batu ujian bagi seorang pemimpin untuk naik tingkat. Jika berhasil menyelesaikannya persoalan yang mendera bangsa saat ini, maka integritasnya dan reputasinya sebagai pemimpin akan semakin kuat sehingga semua elemen bangsa akan terkonsolidasi mendukung Pemerintahan.
Namun jika tidak, maka yang terjadi akan sebaliknya.
“Kalau kita tengok ke belakang, janji Presiden Jokowi saat pertama kali terpilih adalah ‘salam tiga jari’ yaitu menyatukan Indonesia yang berbeda pandangan karena Pilpres. Saatnya janji tersebut direalisasikan. Rekatkan kembali relasi sosial yang mulai renggang ini. Jangan biarkan rakyat berhadap-hadapan,” pungkas Fahira.
Penulis: Yulis Sulistyawan