Penegak Hukum Harus Persuasif Tangani Kasus Bendera Negara, Ini Penjelasan Profesor Yusril
"Bendera Negara RI sang saka merah putih itu, menurut UU, ukurannya pasti. Yakni warna merah dan putih sama besarnya."
Penulis: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Profesor DR Yusril Ihza Mahendra meminta polisi dan aparat penegak hukum lainnya hati-hati menerapkan pasal-pasal pidana dalam UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara.
Dalam sebuah artikel di akun fanpage-nya di Facebook, Selasa (24/1/2017), Yusril mengatakan, pelanggaran pasal-pasal larangan membuat tulisan, gambar dan coretan pada Bendera RI perlu ditangani persuasif karena masyarakat awam, bahkan pejabat negara, birokrat dan bahkan penegak hukum sendiri banyak yang belum paham tentang bendera negara, ukuran, bahan pembuatannya, tatacara penggunaannya dan larangan-larangannya.
"Bendera Negara RI sang saka merah putih itu, menurut UU, ukurannya pasti. Yakni warna merah dan putih sama besarnya. Lebar bendera adalah 2/3 ukuran panjangnya. Bahannya terbuat dari kain yang tdk mudah luntur. Ukurannya untuk keperluan-keperluan tertentu juga sudah diatur oleh UU," kata Yusril.
Dengan demikian, tidak semua warna merah putih adalah otomatis adalah bendera negara RI. Kain yang berwarna merah putih namun tidak memenuhi kreteria syarat-syarat untuk dapat disebut sebagai bendera RI, bukanlah bendera RI.
"Ambillah contoh, kaleng susu manis bekas yang bagian atasnya dicat merah dan bagian bawahnya dicat putih, kaleng merah putih itu bukanlah bendera negara RI," Yusril mencontohkan.
"Warna merah putih seperti di kaleng susu bekas itu paling tinggi hanyalah "merepresentasikan" bendera RI, namun samasekali bukan bendera RI. Semua ketentuan itu diatur dalam Pasal 4 UU No 24 Tahun 2009," sebutnya.
Baca: Nurul Fahmi, Tersangka Kasus Bendera Merah Putih Bertuliskan Kalimat Syahadat, Dikenal Rajin Ibadah
Selanjutnya Pasal 24 UU No 24 Tahun 2009 itu memuat larangan antara lain larangan merusak, merobek, menginjak-injak, membakar atau melakukan perbuatan lain dengan maksud untuk "menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara". "Mereka yang melanggar larangan ini diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah," sebut Yusril.
Dia juga memaparkan, larangan juga dilakukan terhadap setiap orang untuk "mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara". Terhadap mereka yang melakukan apa yang dilarang ini diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahu atau denda paling banyak seratus juta rupiah.
Dari rumusan delik pidana UU No 24 Tahun 2009 ini, jelas terlihat bahwa terhadap mereka yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar atau melakukan perbuatan lain yang dilarang undang-undang ini haruslah ada unsur kesengajaan dan niat jahat untuk menodai, menghina atau merendahkan kehormatan bendera negara.
"Jadi mereka yang tidak sengaja dan tidak mempunyai niat untuk menodai, menghina dan merendahkan kehormatan bendera negara, tidaklah dapat dipidana karena perbuatannya itu," jelas Yusril.
Baca: Istri Nurul Fahmi Mengalami Pendarahan Usai Tahu Suaminya Ditangkap Polisi
Dia menambahkan, lain halnya terhadap mereka yang mencetak, menyulam dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 67 huruf c undang-undang ini, unsur kesengajaan dan niat untuk menodai atau merendahkan martabat bendera negara itu tidak perlu ada.
"Jadi siapa saja yang melakukannya, sengaja maupun tidak sengaja, ada niat untuk menodai, menghina dan merendahkan atau tidak, perbuatan itu sudah dapat dipidana dengan ancaman penjara paling lama setahun atau denda paling banyak seratus juta rupiah," kata Yusril.
Ancaman pidana paling lama setahun terhadap pelanggaran Pasal 67 huruf c di atas, menunjukkan tindak pidana ini tergolong sebagai tindak pidana ringan.
"Karena itu, saya berpendapat penegakan hukum atas pasal ini hendaknya dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan cara yang bijaksana, jangan dilaksanakan dengan tergesa-gesa. Apalagi penegakannya dilakukan tebang pilih terhadap mereka-mereka yang tidak disukai dan berseberangan dengan pemerintah. Sementara yang lain, yang melakukan perbuatan yang sama, tidak diambil langkah penegakan hukum apapun," ungkap Yusril.
"Mengapa saya katakan penerapan Pasal 67 huruf c itu, katakanlah terhadap seseorang yang menulis huruf-huruf atau angka, harus dilakukan secara bijak? Sebabnya adalah sebagian besar warga masyarakat belum mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang dan dapat dipidana," bebernya.
"Ketidaktahuan itu juga ada di kalangan pejabat birokrasi pemerintah dan bahkan pada aparat penegak hukum sendiri. Coba saja search di internet, niscaya adanya tulisan pada bendera negara itu akan kita dapati dalam jumlah sangat banyak," sebut Yusril.
"Saya ingat jauh sebelum adanya UU No 24 Tahun 2009, adanya tulisan-tulisan pada bendera negara kita tatkala umat Islam dari negara kita menunaikan ibadah haji. Biasanya bendera itu dikibarkan oleh ketua rombongan agar jemaah tidak tersesat dan terpisah dari rombongan," imbuh Yusril.
"Sekarang pun hal itu masih terjadi. Saya pernah memberitahu ketua sebuah rombongan umroh bahwa menulis sesuatu pada bendera itu dilarang undang-undang dan dapat dihukum. Merekapun terkejut dan mengatakan samasekali tidak mengetahui hal itu," tulisnya.