Bukan lagi Sebuah Kesenjangan Pendapatan Biasa di PTFI kata Ketua GP Ansor
Permasalahan terkait PT Freeport Indonesia (PTFI) tidak hanya tentang divestasi saham maupun kewajiban pembangungan smelter (pemurnian) di Papua, namu
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Permasalahan terkait PT Freeport Indonesia (PTFI) tidak hanya tentang divestasi saham maupun kewajiban pembangungan smelter (pemurnian) di Papua, namun juga banyak kesenjangan yang diterima tenaga kerja Indonesia terutama dalam hal upah pekerja.
Oleh karena itu, Gerakan Pemuda (GP) Ansor mendesak pemerintah dan pihak terkait untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap Freeport.
"GP Ansor menilai kesenjangan pendapatan yang diterima saudara-saudara kami yang bekerja di Freeport, khususnya saudara-saudara kami dari Papua, bukan lagi sebuah kesenjangan pendapatan biasa, tapi sudah merupakan ketidakadilan dan penindasan, bahkan sudah merupakan sebuah bentuk neo-kolonialisme yang paling vulgar," ungkap Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas, Senin (27/2).
Yaqut mengatakan, penilaian tersebut bukan tanpa dasar, melainkan hasil pengkajian beberapa data yang diperoleh GP Ansor. Berdasarkan laporan terkait ketenagakerjaan di Freeport, diketahui dari sekitar 32.000 pekerja Freeport, sebagian besar merupakan pekerja kontrak atau outsourcing, tepatnya sebanyak 63,2 persen. Sementara pekerja berkewarganegaraan Indonesia hanya sebanyak 36,8 persen.
"Dari 36,8 persen pekerja langsung berkewarganegaraan Indonesia, hanya 35,8 persen yang merupakan saudara kami, putra-putri asli Papua. Di mana sebanyak 98,9 persen di antaranya adalah buruh tambang dengan 24 jenjang upah dengan jenjang terendah mendapatkan upah sebesar Rp 3.316.000 dan jenjang tertinggi untuk karyawan hanya mendapat upah sebesar, Rp 5.517.000," urai Yaqut, yang juga Anggota Komisi VI DPR RI tersebut.
Data lain menyebutkan, rasio pendapatan antara buruh berpendapatan terendah dengan Komisaris Utama Freeport di Amerika adalah 1 banding 535. Sementara upah keseluruhan yang diterima oleh 4.321 pekerja asal Indonesia di Papua setiap bulannya hanya 59,8 persen dari pendapatan Komisaris Utama Freeport.
"Jumlah itu hanyalah 0,017 persen atau sebanyak-banyaknya 0,028 persen dari laba bersih yang diterima Freeport tiap bulan," ujar Gus Yaqut, sapaan akrab Yaqut Cholil Qoumas.
Adapun berdasarkan laporan keuangan yang telah dirilis diketahui bahwa 31 persen pendapatan Freeport berasal dari tembaga dan 99 persen pendapatan berasal dari emas dari tanah Papua. Keuntungan bersih yang didapatkan Freeport diketahui lebih dari Rp1.000 triliun.
Dari jumlah keuntungan tersebut, Freeport hanya memberikan kontribusi sebanyak Rp80 triliun kepada Pemerintah RI setiap tahunnya. Jumlah tersebut hanya sekitar 8 persen dari total keuntungan Freeport beroperasi di Indonesia.
Melihat adanya kesenjangan atau ketimpangan upah tersebut, GP Ansor mengambil sikap tegas. GP Ansor mendesak Menteri Tenaga Kerja dan pihak-pihak terkait untuk mengevaluasi secara menyeluruh sistem pengupahan di Freeport, agar berasaskan pada prinsip pengupahan yang manusiawi dan berkeadilan.
"Kami mendesak pemerintah dan pihak terkait untuk mengevaluasi secara menyeluruh sistem pengupahan di Freeport. Kami juga menegaskan akan melawan segala bentuk eksploitasi sumber daya alam secara tidak berkeadilan, tidak berpihak pada penduduk lokal, dan hanya menampilkan neo-kolonialisme dalam wujud turbo-kapitalisme yang hanya menghasilkan duka kemanusiaan dan derita ekologis," papar Yaqut.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.