Sidang Kasus e-KTP Tak Boleh Disiarkan Live oleh Media Televisi
PN Jakpus melarang seluruh persidangan yang digelar di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat disiarkan secara live oleh media televisi.
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) melarang seluruh persidangan yang digelar di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat disiarkan secara langsung atau live oleh media televisi.
Berdasarkan Surat Keputusan yang diteken 4 Oktober 2016 itu, maka sidang dakwaan kasus korupsi e-KTP tahun anggaran 2011-2012 yang akan digelar Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) Jakarta, hari ini tidak akan disiarkan secara langsung.
"Mengingat yang sudah terdahulu pengadilan mengambil sikap bahwa persidangan sekarang sudah tidak boleh live lagi," kata Humas Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Yohanes Priyana.
Menurut Priyatna, kebijakan tersebut diambil berdasarkan evaluasi persidangan terdakwa kasus pembunuhan terdakwa Jessica Kumala Wongso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.
Berdasar hasil evaluasi, peliputan secara live menyebabkan kegaduhan di ruang persidangan dan di ruang masyarakat serta di media sosial.
Selain itu juga dari opini publik yang saling bertentangan sehingga pengadilan berpendapat lebih banyak keburukannya dibandingkan kebaikannya.
"Bahwa sidang yang terbuka untuk umum artinya bahwa persidangan ini mempersilakan masyarakat untuk hadir dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum," ungkap Yohanes.
Sementara, peliputan secara langsung memiliki makna persidangan yang dihadirkan kepada masyarakat umum sehingga memiliki filosofi berbeda dengan persidangan yang bersifat terbuka untuk umum.
"Jadi dengan hal yang demikian pengadilan mengambil sikap mengembalikan kepada marwah sidang yang terbuka untuk umum. Silakan kepada pihak-pihak yang merasa berkepentingan untuk hadir ke pengadilan," kata dia.
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mengecam adanya larangan menyiarkan langsung sidang perdana kasus dugaan korupsi KTP elektronik.
Menurut PWI larangan siaran langsung pengadilan yang terbuka untuk umum, selain merupakan pelecehan terhadap kemerdekaan pers, sekaligus juga bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang bebas, terbuka dan jujur.
Menurut Dewan Kehormatan PWI Pusat, pelarangan siaran langsung termasuk penghianatan terhadap semangat dan roh dari KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
"Dewan Kehormatan PWI mengingatkan, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku sebagaimana diatur dalam KUHAP, apabila sidang dinyatakan terbuka untuk umum, berarti masyarakat atau publik boleh dan dapat mengetahui apa yang terjadi dalam proses persidangan," tulis Dewan Kehormatan PWI dalam pernyataan resminya yang ditandatangani Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat Ilham Bintang dan Sekretaris, Wina Armada Sukardi.
Baca: Gerak-gerik Agus Aneh, Kamar Kosnya Bau Bahan Kimia
Sementara Ilham Bintang mengatakan, filosofi dari sidang terbuka untuk umum adalah agar pengadilan berjalan dengan fair dan adil, karena dapat disaksikan dan diawasi langsung oleh publik.
Pers, kata dia, ialah wakil dari publik yang tidak dapat datang ke sidang pengadilan.
Ilham menegaskan bahwa melarang pers melakukan siaran langsung sama saja dengan memasung hak publik untuk mengetahui apa yang terjadi dalam sidang e-KTP, memberangus kemerdekan pers, dan justeru dapat memicu jalannya sidang peradilan yang tidak fair dan tidak jujur.
"Karena menyangkut nama tokoh dan pejabat penyelenggara negara, publik bisa curiga dan menduga-duga bahwa ada pengaturan hingga sidang itu tidak boleh disiarkan secara langsung oleh televisi," kata Ilham Bintang.
Sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum, Dewan Kehormatan PWI Pusat berpendapat, hanya sidang peradilan anak dan kasus-kasus asusila saja yang bersifat terutup dan tidak boleh disiarkan secara langsung.
Hal ini karena untuk melindungi kepentingan anak-anak dan menghindari penyiaran kasus asusila menjadi konsumsi umum.
Selebihnya Dewan Kehormatan PWI menegaskan seluruh sidang yang menurut KUHAP dinyatakan terbuka untuk umum, harus dapat disiarkan langsung.
Terkait adanya kekhawatiran para saksi akan saling mempengaruhi jika sidang disiarkan langsung, Dewan Kehormatan PWI berpendapat, seharusnya bukan persnya yang diberangus, tetapi terhadap para saksi yang harus diatur sedemikian rupa sehingga saksi satu dan lainnya tidak saling mengetahui.
"Maka yang diperlukan aturan mengenai para saksi dan bukannya membungkam kemerdekaan persnya dengan melarang siaran langsung," kata Ilham.
Dewan Kehormatan PWI Pusat secara tegas meminta agar larangan peliputan siaran langsung sidang yang terbuka untuk umum segera dicabut. (eri/wly)