FITRA: Korupsi e-KTP adalah Pengkhianatan Terbesar Politikus-Pejabat kepada Rakyat
Kalau ada pengamat yang bilang bahwa KPK gagah-gagahan dalam mengusut korupsi E-KTP, statement itu bentuk dukungan terhadap koruptor.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - FITRA mendukung penuh KPK membongkar megakorupsi E-KTP, mendorong reformasi BPK dan mendorong Presiden segera terbitkan PP Integrasi Perencanaan dan Penganggaran.
Manager Advokasi FITRA Apung Widadi mengatakan kalau ada pengamat yang bilang bahwa KPK gagah-gagahan dalam mengusut korupsi E-KTP, statement itu bentuk dukungan terhadap koruptor.
Menurut Apung, pengamat tersebut tidak mempunyai keberpihakan kepada rakyat karena uang rakyat hasil pajak dikorupsi dari Rp 6 triliun dijadikan bancakan 49 persen, atau 2,3 triliun.
Baca: KPK Dinilai Ingin Gagah-gagahan Cantumkan Sejumlah Politikus Beken Dalam Dakwaan Kasus e-KTP
Apung menyatakan korupsi E-KTP adalah pengkhianatan terbesar politikus-pejabat kepada rakyat.
Pertama, karena nominalnya besar sekali. Kedua, politisi dan pejabatnya melanggar sumpah jabatan. Dan ketiga, dampak korupsi itu berpengaruh buruk terhadap pelayanan publik, layanan e-ktp yang buruk dan gagalnya program single identity number.
Menurut Apung, sumber utama korupsi ini saat itu adalah perencanaan anggaran APBN yang sangat buruk. Mafia anggaran mendominasi proses dan mengintervensi hasil.
Sayangnya saat ini, pasca putusan MK dimana DPR tidak boleh membahas satuan tiga, modus bancakan pembahasan e-ktp masih terjadi serupa, misalnya kasus Damayanti dan I Putut Sudiartana.
"Kasus E-KTP kembali mengingatkan kita, mafia anggaran di DPR masih ada walaupun sudah tidak boleh membahas sampai satuan 3," kata dia.
Selain itu, FITRA dengan seluruh cabang ada di 15 provinsi mendukung penuh KPK dalam mengusut E-KTP. Bahwa serangan balik terhadap KPK pasti ada, tetapi FITRA akan menggalang dukungan masyarakat untuk ikut terlibat mendukung KPK. KPK bersama rakyat.
Apung mengutuk keras permainan oknum BPK dalam jual beli Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap pengelolaan Dirjen Dukcapil tahun 2010.
Baca: Neneng Kecewa Jenazah Sang Ibu Tak Disalatkan di Musala Dekat Rumahnya
Sehingga indikasi awal korupsi tidak muncul dalam audit tersebut.
Jaksa KPK menyatakan, salah satu auditor BPK senilai Rp 80 juta. BPK harus direformasi karena berkaca dari hal ini, dugaannya, seolah-olah jual beli opini masih terjadi hingga saat ini.
"Aliran kepada oknum Bappenas juga sangat disayangkan, ini menunjukkan proses perencanaan anggaran yang tidak sesuai prioritas namun sesuai kepentingan tertentu. Bappenas harus segera mengevaluasi diri dengan memperkuat Presiden segera mengeluarkan PP Integrasi Perencanaan dan Penganggaran agar tidak terjadi mega kasus seperti E-ktp lagi," kata Apung.