Petrus Selestinus: Negara Sebagai Korporasi Terlibat Dalam Proyek E-KTP
KPK harus mengembangkan penyelidikan dan penyidikan kasus dugaan korupsi proyek E-KTP dari aspek kejahatan yang dilakukan oleh korporasi
Penulis: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- KPK harus mengembangkan penyelidikan dan penyidikan kasus dugaan korupsi proyek E-KTP dari aspek kejahatan yang dilakukan oleh korporasi/corporate crime.
Petrus Selestinus, Koordinator TPDI dan Advokat Peradi mengatakan, perkembangan doktrin ilmu hukum pidana di Indonesia sudah mengakui korporasi sebagai subyek (pelaku) dalam Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dapat dilihat dalam rumusan pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor yang menempatkan korporasi sebagai salah satu subyek dalam kejahatan korupsi.
Rumusan pasal 2 UU Tipikor bahwa "setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara dstnya.
"Dengan demikian pertanggungjawaban pidana oleh pimpinan korporasi dalam kasus korupsi E-KTP adalah DPR dan Pemerintah Cq. Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan RI,Perum PNRI, Partai Golkar, Demokrat dan beberapa Perusahaan Swasta yang menjadi rekanan Kementerian Dalam Negeri, merupakan sebuah keharusan," kata Petrus dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/3/2017).
Persekongkolan Pimpinan Korporasi
Dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum KPK, disebutkan bahwa Terdakwa I dan Terdakwa II selaku pejabat Kementerian Dalam Negeri bersama-sama dengan Andi Agustinus alas Andi Narogong (rekanan selaku Penyedia Barang/Jasa Kementerian Dalam Negeri, Isnu Edhi Wijaya selaku Ketua Konsorsium Percetakan Negara RI, Diah Anggraini selaku Sekjen Kementerian Dalam Negeri, Setya Novanto, Ketua Fraksi DPR RI dari Partai Golkar dan Dradjat Wisnu Setyawan, Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Kementerian Dalam Negeri dan Gamawan Fauzi selaku Menteri Dalam Negeri, melakukan atau turut serta melakukan secara melawan hukum perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp. 2.314.904.234.275,39.-
Sementara itu Fraksi Partai Golkar dan Fraksi Partai Demokrat di DPR berperan mengawal tindak pidana korupsi dalam pembahasan proyek E-KTP dengan mendapatkan kompensasi yang disepakati antara Andi Narogong dan Setya Novanto di satu pihak dengan Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin di pihak lain atas anggaran E-KTP sebesar Rp. 5.900.000.000.000 dengan komposisi pembagian sbb.:
a. Sebesar 51% atau sejumlah Rp. 2.662.000.0000.000 akan dipergunakan untuk belanja modal atau belanja riil pembiayaan proyek.
b. Sebesar 49% atau sejumlah Rp. 2.558.000.000.000 akan dibagikan kepada :
1. Pejabat Kementerian Dalam Negeri termasuk Terdakwa I dan Terdakwa II sebesar 7% atau sejumlah Rp. 365.400.000.000,00 (tiga ratus enam puluh lima empat ratus juta rupiah);
2. Anggota Komisi II DPR RI sebesar 5% atau sejumlah Rp. 261.000.000.000,00 (dua ratus enam puluh satu miliar rupiah);
3. Setya Novanto sebesar 11% atau sejumlah Rp.574.200.000.000
4. Anas Urbaningrum dan Nazaruddin sebesar 11% atau sejumlah Rp. 574.200.000.000,00 (lima ratus tujuh puluh empat miliar dua ratus juta rupiah);
5. Pelaksana Pekerjaan/Rekanan sebesar 15% atau sejumlah Rp. 783.000.000.000,00
Partai Golkar Dan Demokrat Harus Dimintai Pertanggungjawaban Pidana.
Berangkat dari kesepakatan untuk melakukan korupsi dalam proyek E-KTP yang diusulkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan telah mendapat persetujuan dari Komisi II DPR RI termasuk nilai untuk dikorupsi sesuai grand design tahun 2010 dan komposisi besaran pembagiannya, yang dikawal oleh Fraksi Golkar dan Fraksi Demokrat, maka keterlibatan pimpinan Fraksi Golkar dan Fraksi Demokrat dengan fungsi mengawal kejahatan korupsi sebesar Rp. 2.558.000.000.000, yang dilegalkan melalui persetujuan rapat Kementerian Dalam Negeri mewakili Pemerintah dengan KOMISI II DPR RI.
Dengan demikian, jelas Petrus, maka unsur keterlibatan korporasi Negara dalam Tindak Pidana Korupsi proyek E-KTP telah terpenuhi, karena korporasi negara sebagai salah satu pelaku dalam Tindak Pidana Korupsi E-KTP ini sudah terpenuhi dan sulit dihindarkan, maka perlu ada pertanggungjawaban secara pidana oleh korporasi dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, Ketua DPR RI, Ketua Fraksi Golkar dan Fraksi Demokrat sebagai pihak/subyek yang terlibat aktif dalam mengawal kejahatan korupsi dimaksud.
Pembubaran Partai Golkar Dan Demokrat Ke MK.
Dari rumusan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum KPK No. DAK-15/24/02/2017, Tanggal 28 Februari 2017, tidak ditemukan satupun uraian Jaksa Penuntut Umum yang menggambarkan ada pihak-pihak di Komisi II DPR RI atau Komisi III DPR RI yang menolak atau menghalang-halangi atau mencegah agar tidak terjadi Tindak Pidana Korupsi dalam pelaksanaan proyek E-KTP ini.
Fungsi Pengawasan DPR lumpuh, karena itu sesungguhnya Negara (PEMERINTAH dan DPR RI) sebagai korporasi telah mengkorupsi uangnya sendiri, dengan terlebih dahulu melumpuhkan semua kekuatan kontrol dan kekuatan pencegahan yang dimiliki termasuk oleh KPK ketika itu nyaris terjebak karena semapt diajak utk ikut mengawasi ternyata gagal dan tidak berdaya.
"Oleh karena itu KPK harus berani melakukan terobosan dengan menarik Pemerintah, DPR, Fraksi Golkar dan Fraksi Demokrat sebagai pelaku turut serta sebagai korporasi untuk dimintai pertanggungjawaban pidana," jelasnya.
Oleh karena itu, Tambah Petrus, saatnya Presiden Joko Widodo, mengambil inisiatif mengajukan permohonan untuk membubarkan Fraksi Golkar dan Fraksi Demokrat ke Mahkamah Konstitusi berdasarkan Rekomendasi hasil penyidikan KPK yang disampaikan ke Presiden Jokowi sebagai bagian dari tugas KPK membangun sistim pencegahan dan pemberantasan korupsi yang efesien dan efektif.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.