Tulisan Ahmad Ishomuddin; Tabayun Setelah Sidang ke-15 Kasus Dugaan Penodaan Agama
Saya harus berani menyampaikan apa yang menurut ilmu benar. Rasanya percuma hidup sekali tanpa keberanian, dan menjadi pengecut.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Sugiyarto
Tabayun Setelah Sidang ke-15 Kasus Dugaan Penodaan Agama
Oleh Ahmad Ishomuddin
TRIBUNNEWS.COM - Beberapa waktu lalu saya diminta oleh penasihat hukum bapak BTP (Ahok) untuk menjadi saksi ahli atas kasus penodaan agama yang didakwakan kepadanya. Penasihat hukum dalam UU Advokat juga termasuk penegak hukum di negara konstitusi Republik Indonesia, sebagaimana dewan hakim dan para JPU (jaksa penuntut umum). Karena kesadaran hukumlah saya bersedia hadir dan menjadi saksi ahli dalam sidang ke-15.
Saya menyadari betul dan sudah siap mental menghadapi risiko apa pun, termasuk mempertaruhkan jabatan saya yang sejak dahulu saya tidak pernah memintanya, yakni baik sebagai rais syuriah PBNU (periode 2010-2015 dan 2015-2020) maupun wakil ketua Komisi Fatwa MUI Pusat (2015-2020), demi turut serta menegakkan keadilan itu.
Sebab, sepertinya umat Islam sudah lelah dan kehabisan energi karena terlalu lama mempersengketakan kasus pak BTP (Ahok). Sebagian umat yakin ia pasti bersalah dan sebagian lagi menyatakan belum tentu bersalah menistakan QS al-Maidah ayat 51.
Oleh sebab itu, persengketaan dan perselisihan tersebut segera diselesaikan di pengadilan, agar di negara hukum kita tidak memutuskan hukum sendiri-sendiri. Saya hadir, sekali lagi saya nyatakan, di persidangan karena diminta dan karena ingin turut serta terlibat untuk menyelesaikan konflik seadil-adilnya di hadapan dewan hakim yang terhormat.
Saya hadir di persidangan bukan atas nama PBNU, MUI, maupun IAIN Raden Intan Lampung, melainkan sebagai pribadi. Tidak mewakili PBNU dan MUI karena sudah ada yang mewakilinya. Saya bersedia menjadi saksi ahli pada saat banyak orang yang diminta menjadi saksi ahli pihak pak BTP berpikir-pikir ulang dan merasa takut ancaman demi menegakkan keadilan.
Dalam hal ini saya berupaya menolong para hakim agar tidak menjatuhkan vonis kepadanya secara tidak adil (zalim), yakni menghukum orang yang tidak bersalah dan membebaskan orang yang salah. Tentu karena saya juga berharap agar seluruh rakyat Indonesia tenang dan tidak terus menerus gaduh apa pun alasannya hingga vonis dewan hakim diberlakukan. Rakyat harus menerima keputusan hakim agar tidak ada lagi anak bangsa ini main hakim sendiri di negara hukum.
Saya hadir sebagai saksi ahli agama karena dinilai ahli oleh para penasehat hukum terdakwa, dan di muka persidangan saya tidak mengaku sebagai ahli tafsir, melainkan fiqih dan ushul al-fiqh. Suatu ilmu yang sudah sejak lama saya tekuni dan saya ajarkan kepada para penuntut ilmu.
Namun, itu bukan berarti saya buta dan tidak mengerti sama sekali dengan kitab-kitab tafsir. Alhamdulillah, saya dianugerahi oleh Allah kenikmatan besar untuk mampu membaca dan memahami dengan baik berbagai referensi agama seperti kitab-kitab tafsir berbahasa Arab, bukan dari buku-buku terjemahan. Semua itu adalah karena barakah dan sebab doa dari orang tua dan para kiai saya di berbagai pondok pesantren.
Saat saya ditanya tentang pendidikan terakhir saya oleh ketua majelis hakim, saya menjawab bahwa pendidikan formal terakhir saya adalah Strata 2 konsentrasi Syariah. Saya memang belum bergelar Doktor, meski saya pernah kuliah hingga semester tiga di program S3 dan tinggal menyusun disertasi, namun sengaja tidak saya selesaikan.
Jika ada yang menyebut saya doktor saya jujur dengan mengklarifikasinya, sebagaimana saat orang menyebut saya haji, karena benar saya belum haji. Bagaimana saya mampu berhaji, saya miskin dan banyak orang yang tahu bahwa saya sekeluarga hidup sederhana di rumah kontrakan yang sempit. Namun, sungguh saya tidak bermaksud melakukan pembohongan publik.
Saya yakin sepenuhnya bahwa penguasaan ilmu dan kemuliaan itu adalah diberikan oleh Allah kepada para hamba yang dikehendaki-Nya dan karenanya saya tidak pernah merendahkan siapa saja. Titel kesarjanaan, gelar panggilan kiai haji, dan pangkat bagi saya bukanlah segalanya. Saya berusaha menghormati siapa saja yang menjaga kehormatannya. Bagi saya berbeda pendapat adalah biasa dan wajar saja dan karenanya saya tetap menaruh hormat kepada siapa saja yang berbeda dari saya, terutama kepada orang yang lebih tua, lebih-lebih kepada para kiai sepuh.
Dalam persidangan ke-15 itu tentulah saya menjawab dengan benar, jujur, tanpa sedikit pun kebohongan, di bawah sumpah semua pertanyaan yang diajukan, baik oleh Majelis Hakim, para Penasehat Hukum, maupun para para jaksa penuntut umum (JPU).