Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tulisan Ahmad Ishomuddin; Tabayun Setelah Sidang ke-15 Kasus Dugaan Penodaan Agama

Saya harus berani menyampaikan apa yang menurut ilmu benar. Rasanya percuma hidup sekali tanpa keberanian, dan menjadi pengecut.

Penulis: Wahyu Aji
Editor: Sugiyarto
zoom-in Tulisan Ahmad Ishomuddin; Tabayun Setelah Sidang ke-15 Kasus Dugaan Penodaan Agama
Warta Kota/Gopis Simatupang
Kiai Ahmad Ishomuddin (berbatik merah) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat menyampaikan keterangan kepada media di Gedung Kementerian Pertanian, Pasar Minggu, Selasa (21/3/2017). 

Apabila para saksi, baik saksi fakta maupun saksi ahli, yang diajukan JPU lebih bersifat memberatkan terdakwa karena yakin akan kesalahannya, maka saya sebagai saksi ahli agama yang diajukan oleh para penasihat hukum bersifat meringankannya, selanjutnya nanti majelis hakimlah yang akan memutuskan.

Kesaksian itu saya berikan berdasarkan ilmu, sama sekali bukan karena dorongan hawa nafsu seperti karena ingin popularitas, karena uang dan atau keuntungan duniawi lainnya. Sungguh tidaklah adil dan bertentangan dengan konstitusi jika saya disesalkan, dilarang, dimaki-maki, diancam dan bahkan difitnah karena kesaksian saya itu, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Sangat disesalkan bahwa gelombang fitnah dan teror telah menimpa saya, terutama di media sosial yang kebanyakan ditulis dan dikomentari tanpa tabayun. Berita yang beredar tentang diri saya dari sisi-sisi yang tidak benar langsung dipercaya dan segera terburu-buru disebarluaskan. Di antaranya berita bahwa saya menyatakan bahwa QS al-Maidah ayat 51 tidak berlaku lagi, tidak relevan, atau expaired.

Berita itu berita bohong (hoax). Yang benar adalah bahwa saya mengatakan bahwa konteks ayat tersebut dilihat dari sabab an-nuzul-nya terkait larangan bagi orang beriman agar tidak berteman setia dengan orang Yahudi dan Nasrani karena mereka memusuhi Nabi, para sahabatnya, dan mengingkari ajarannya.

Ayat tersebut pada masa itu tidak ada kaitannya dengan pemilihan pemimpin, apalagi pemilihan gubernur. Adapun kini terkait pilihan politik ada kebebasan memilih, dan jika berbeda hendaklah saling menghormati dan tidak perlu memaksakan pendapat dan tidak usah saling menghujat. Kata "awliya" yang disebut dua kali dalam ayat tersebut jelas terkategori musytarak, memiliki banyak arti/makna, sehingga tidak monotafsir, tetapi multitafsir. Pernyataan saya tersebut saya kemukakan setelah meriset dengan cermat sekitar 30 kitab tafsir, dari yang paling klasik hingga yang paling kontemporer.

Saya sangat mendambakan dan mencintai keadilan. Oleh sebab itu, setiap ada berita penting menyangkut siapa saja, baik muslim maupun non muslim, lebih-lebih jika menyangkut masa depan dan menentukan baik-buruk nasibnya maka jangan tergesa-gesa di percaya.

Untuk menilai secara adil dan menghindarkan kezaliman menimpa siapa pun maka berita itu harus diteliti benar tidaknya dengan hati-hati, wajib dilakukan tabayun (klarifikasi) kepada pelakunya atau ditanyakan kepada warga di tempat kejadian perkara.

Berita Rekomendasi

Dalam hal terkait pak BTP (Ahok) saya tahu bahwa dalam mengeluarkan sikap keagamaan yang menghebohkan itu MUI Pusat tidak melakukan tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu, baik terutama kepada pak BTP (Ahok) maupun langsung kepada sebagian penduduk Kepulauan Seribu, karena MUI Pusat merasa yakin dengan mencukupkan diri dengan hanya menonton video terkait dan memutuskan Ahok bersalah menistakan Alquran dan Ulama.

Padahal dalam Alquran diperintahkan agar umat Islam bersikap adil dan sebaliknya dilarang zalim, kepada siapa saja meskipun terhadap orang yang dibenci. Maka janganlah berlebihan dalam hal apa saja, termasuk jangan membenci berlebihan hingga hilang rasa keadilan.

Bila kemudian saya menyatakan pendapat yang berbeda dengan ketua umum MUI (KH Ma'ruf Amin) sebagai saksi fakta dan wakil rais aam PBNU (KH Miftahul Akhyar) sebagai saksi ahli agama di sidang pengadilan itu maka itu hal biasa, wajar, dan hal yang lazim saja.

Bagi saya berbeda pendapat itu tidak menafikan penghormatan saya kepada dua kyai besar tersebut. Dalam hal yang didasari oleh ilmu, bukan hawa nafsu, berbeda itu biasa dan merupakan sesuatu yang berbeda dari persoalan penghormatan. Sebagai muslim saya terus memerangi nafsu untuk bersikap tawadhu (rendah hati) sepanjang hayat.

Terhadap setiap pujian kepada saya, saya tidak bangga dan saya kembalikan kepada pemilik semua pujian yang sesungguhnya, Allah ta'ala. Sebaliknya, terhadap caci maki, celaan, fitnah, dan apa saja yang menyakiti hati saya tidak kecewa dan tidak takut, karena saya menyadari keberadaan para pencaci di dunia yang sementara ini.

Saya harus berani menyampaikan apa yang menurut ilmu benar. Rasanya percuma hidup sekali tanpa keberanian, dan menjadi pengecut. Kebenaran wajib disampaikan, betapa pun pahitnya.

Hanya kepada Allah saya mohon petunjuk dan perlindungan. Semoga kita dijauhkan dari kezaliman, kejahatan setan (jenis manusia dan jin), dan dijauhkan dari memperturutkan hawa nafsu."

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas