Sumber Air Menyusut, Warga Sekitar Mata Air Gunung Karang Tolak Kehadiran Pabrik Mayora Group
Warga menolak kehadiran PT Tirta Fresindo Jaya, anak perusahaan Mayora Group. Karenanya, mata air yang disedot pabrik mayora grup sebabkan kekeringan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kehadiran PT Tirta Fresindo Jaya, anak perusahaan Mayora Group yang memproduksi minuman kemasan, mendapat penolakan warga sekitar yang tinggal di Gunung Karang, Kabupaten Pandeglang, Banten.
Menurut Warga sekitar, PT Tirta Fresindo Jaya telah menganggu akses sumber mata air dari kaki gunung yang menjadi sumber kehidupan mereka, bahkan telah mengakibatkan kekeringan.
Penolakan warga berujung pada pengaduan ke Kantor Bupati pada Februari lalu. Sayangnya, protes mereka tak direspon oleh Pemerintah.
Akhirnya, warga yang emosi kemudian merusak gudang perusahaan milik PT Tirta Fresindo.
Seperti apa konflik air di sana? Berikut kisah lengkapnya seperti dilansir dari Program Saga dari Kantor Berita Radio (KBR).
“Di sini kan sumber mata air ada 8 yang ditimbun, hak warga itu. Sawahnya di sini setiap petakan ini ada selang dua hingga tiga. Habis musim tandur (tanam), bukannya cari air tetapi sibuk membuang air, saking berlimpahnya, “ kenang Ustad Hasan.
Begitulah Hasan, pemilik Pesantren Al Hijaiyah di Desa Cadasari, Pandeglang, Banten, mengenang masa dimana air tumpah ruah di lahan sawahnya.
Bahkan selama bertahun-tahun, Hasan dan santrinya tak pernah kesusahan air. Malahan dulunya, ia bisa setahun tiga kali menanam padi, palawija, hingga sayuran.
Mata air Gunung Karang lah yang menjadi sumber pengairannya. Kadang karena berlebihnya air membuat Hasan dan para santri sampai membuangnya ke sungai.
Namun, kini masa itu telah hilang. Penyebabnya tak lain karena mata air Gunung Karang diserobot PT Tirta Fresindo Jaya, anak usaha Mayora Group untuk bisnis barunya, minuman kemasan.
“Saya ini sekarang ambil air, karena mata air ditimbun kan airnya ke mana-mana, saya kumpulin rembes-rembes begitu, saya kumpulin. Saya ambilnya dari lapangan Mayora, karena belum ada produksi masih lapang, “ terang Hasan.
Kondisi serupa bukan hanya dialami Hasan, tetapi juga hingga 400-an Santrinya. Salah satunya, Sanusi pengelola Pesantren Darul Mubtadi.
“Makanya semenjak sumber air di sini diurug, 110 hektare ke bawah itu kosong kering, itu baru pengurukan saja. Sumber air kan besar untuk mandi, pengairan, minum. Kemarau sekalipun dulu tidak pernah kekeringan. Diuruglah, Alhamdulilah ke bawah tidak ada air, setelah diurug dilakukanlah pengeboran, setelah dilakukan pengeboran, air yang di sini langsung kering, “jelas Sanusi.
Sudah tiga tahun belakangan, baik Sanusi dan Hasan, terpaksa bergantung pada air rembesan yang tak seberapa, dan pompa air.
Desa Cadasari berada di perbatasan antara Kabupaten Pandeglang dan Serang, Banten. Di sini, rimbunnya pohon bambu ada dimana-mana.
Delapan mata air dari Gunung Karang, menghidupi pesantren milik Hasan dan Sanusi untuk kebutuhan sehari-hari, juga petani dan peternak ikan.
Namun kehadiran PT Tirta Fresindo Jaya, anak usaha Mayora Group pada 2012 mengusik masyarakat sekitar.
Tanpa sepengetahuan warga, perusahaan itu menutup semua mata air. Bencana gagal panen, kekeringan menghantui mereka sepanjang 2013-2014.
Sakri, petani di Desa Cadasari, bercerita di tahun-tahun itu ia harus bersusah payah memompa air dari sungai.
“Kalau waktu itu memang kewalahan, mulai pas bukaan itu saja tahun 2013 sudah diurug, karena mata air yang ke sini sudah diurug. Dulu tidak ada hujan 3-6 bulan masih ada saja air. Sudah musim hujan juga tidak ada air, bahkan menyedot dari sungai,” kata Sakri.
Dia juga mengatakan, di saat itu para peternak ikan rugi besar lantaran ikannya mati kekurangan air. Tak mau terus merugi, peternak terdesak harus memanen ikannya sebelum waktunya.
Catatan LSM Serikat Tani Nasional Provinsi Banten, ada ribuan hektar lahan pertanian yang terdampak akibat penguasaan lahan dan mata air oleh anak usaha Mayora Group.
Ketua Komite Pimpinan Wilayah STN Banten, Ibnu Zakaria, mengatakan Gunung Karang memiliki cadangan air bawah tanah yang melimpah, dan itu menggiurkan bagi PT Tirta Fresindo Jaya.
Akan tetapi, ia punya catatan khusus, izin lokasi yang dikantongi perusahaan itu melanggar aturan tata ruang.
Sebab lahan tersebut masuh zona pertanian dalam Perda Kabupaten Pandeglang Nomor 3 tentang 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pandeglang. Dimana Kecamatan Cadasari masuk dalam kawasan resapan air.
Kemudian pasal 35 ayat 4 memasukkan Kecamatan Cadasari dalam kawasan lindung geologi yang berada di sekitar mata air.
Dan pasal 39 ayat 6 yang mengategorikan Kecamatan Cadasari sebagai kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B).
“Kita meyakini ada dokumen wilayah Gunung Karang ini merupakan zona kekuatan sumber daya air. Kalau mau melihat dampak, luas wilayah dua daerah itu merupakan mayoritas petani. Kalau pembangunan dilanjutkan, kekuatan volume air tidak bisa terbendung,” Ketua Komite Pimpinan Wilayah STN Banten, Ibnu Zakaria.
Ibnu juga mengatakan, kemunculan pabrik hanya akan menyebabkan bencana longsor. Sebab kontur lahan di kawasan tersebut berupa lereng dan berundak.
“Di Rencana Tata Ruang dan Wilayah disebutkan kawasan tersebut masuk dalam LP2B, wilayah ketahanan pangan. Ini terlalu dipaksakan, tidak hanya di RT RW, di Perdanya juga begitu, masuk wilayah ketahanan pangan. Kalau mau bicara ini terus dilanjutkan, akan muncul pemukiman-pemukiman kumuh. Masuknya investasi properti yang membuat perumahan-perumahan, “ungkap Ibnu Zakaria.
KBR sempat melihat lokasi pabrik PT Tirta Fresindo Jaya. Terlihat patok-patok beton setinggi satu meter berwarna merah yang menandakan lahan itu milik mereka.
Letak pabrik anak usaha Mayora Group ini sangat dekat bisa dibilang berdempetan dengan Pesantren Al Hijaiyah milik Hasan. Sementara pesantren milik Sanusi jaraknya sekira satu kilometer.
Di lahan seluas 20 hektar tersebut, ada gudang. Ada pula backhoe yang habis terbakar. Menurut warga setempat, itu adalah imbas dari konflik.
Saat itu, Senin 6 Februari 2017, seratusan warga Desa Cadasari menggelar aksi unjuk rasa di kantor Bupati Pandeglang menuntut agar menghentikan aktivitas perusahaan.
Namun lantaran tak ditemui bupati, warga kemudian pergi marah karena merasa tak diacuhkan. Ketika hendak pulang dan melewati jalan depan pabrik, warga yang emosi langsung menggeruduk dan merusak apa saja yang ada di sana, termasuk backhoe.
Salah satu santri Al Hijaiyah, Arif, mengantar dan menujukkan pada saya lokasi pabrik.
“Ini mayora itu yang ada merah-merahnya, patoknya itu ya. Itu sampe jalan patok merahnya. Luas ya, belum lagi yang ke sananya. Pesantren ini tidak kena, tapi akan ketutup. Selang selang air itu ambilnya dari sana, pesantren juga ke sana, sudah kering kalau dulu ke tempat yang ambil air, sekarang kita ambil ke Mayora, ”kata Arif.
Sementara itu, Juru Bicara Mayora Group, Sribugo Suratmo, menyebut pihaknya sudah melengkapi seluruh perizinan termasuk soal eksplorasi air untuk industri.
Juga izin investasi dan izin pendirian bangunan oleh Kepala Dinas Tata Ruang Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Pandeglang Nomor 600/548.b/SK-DTKP/XII/2013 tertanggal 9 Desember 2013.
SK Kepala Dinas Tata Ruang Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Pandeglang inilah yang dijadikan rujukan bagi Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Pandeglang untuk mengeluarkan izin lokasi pembangunan industri minuman ringan PT. Tirta Fresindo Jaya dengan Nomor 503/Kep.02-BPPT/2014 pada tanggal 30 Januari 2014.
“Kita izin ada, semua ada dan tidak menyalahi, apa sih salahnya. Kita juga memakai para pegawainya orang-orang situ juga. Jadi, tidak ada alasan lah. Kalau sumber airnya juga kita minta izin, kita semua dapat izinnya, “ujar Sribugo Suratmo.
Akan tetapi penolakan warga Desa Cadasari terhadap investasi Mayora Group, terus digaungkan meski sejumlah orang diintai.
Penulis : Yudi Rachman, Sumber : Kantor Berita Radio (KBR)