Manuver Partai Golkar, Surat Keberatan Pencegahan Novanto atas Instruksi DPP
"Semua kebijakan dari Partai Golkar yang melalui Fraksi Partai Golkar, itu harus dilaksanakan oleh Fraksi Partai Golkar."
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Fraksi Partai Golkar Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan bahwa surat dari Fraksi PartaiGolkar terkait nota keberatan status pencegahan Ketua DPR Setya Novanto dibuat atas instruksi DPP Partai Golkar.
Agus menyatakan, sedianya Fraksi Partai Golkar di DPR merupakan kepanjangan tangan dari partai yang dipimpin Setya Novanto itu.
Sehingga, Fraksi Partai Golkar tidak mungkin memutuskan sesuatu di luar dari instruksi DPP Partai Golkar.
"Semua kebijakan dari Partai Golkar yang melalui Fraksi Partai Golkar, itu harus dilaksanakan oleh Fraksi Partai Golkar, apalagi surat yang sifatnya sangat strategis," ujar Agus saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (11/4/2017).
Baca: Yusril: Awas, Ada Celah Hukum di Pencegahan Setya Novanto ke Luar Negeri
Surat tersebut sudah dibahas dalam Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR pada Selasa (11/4/2017) kemarin. Kini surat tersebut masih dikaji ulang oleh Sekretariat Jenderal DPR untuk melihat dasar hukumnya.
"Jadi semua instruksi dan arahan DPP Partai Golkar itu harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh Fraksi Partai Golkar," kata Agus Gumiwang.
DPR sebelumnya berencana melayangkan surat keberatan kepada Presiden Joko Widodo atas pencegahan Ketua DPR Setya Novanto.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai pencegahan Ketua DPR Setya Novanto ke luar negeri oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi melanggar putusan Mahkamah Konstitusi nomor 64/PUU-IX/2011.
Putusan tersebut membatalkan Pasal 97 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang memperbolehkan penegak hukum meminta pencegahan kepada Ditjen Imigrasi untuk mencegah seseorang ke luar negeri meski masih dalam proses penyelidikan.
Baca: Fahri Hamzah Tiba-tiba Minta Status Cegah Setya Novanto ke Luar Negeri Ditinjau Ulang
Namun, pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, mengoreksi pendapat tersebut.
Yusril menyatakan permintaan pencegahan seorang saksi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) diberikan oleh undang-undang yang ikut dibuat oleh DPR dengan Presiden yang tercantum pada pasal 13 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Mantan Menteri Hukum dan HAM itu mengatakan, pasal pencegahan seorang saksi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 memang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui amar putusan Nomor nomor 64/PUU-IX/2011. Dengan demikian, hanya orang yang berstatus tersangka saja yang baru bisa dicekal.
"Masalahnya, Undang-undang KPK yang membolehkan mencekal saksi, masih berlaku dan belum pernah diubah atau dibatalkan oleh MK," kata Yusril melalui keterangan tertulis, Rabu (12/4/2017).
Penulis: Rakhmat Nur Hakim