Hary Tanoe Resmi Laporkan Allan Nairn ke Polisi
Pelaporan ke Polda Metro Jaya ini terkait dengan tulisan Nairn di situs Intercept dan Tirto
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengusaha Hary Tanoesoedibjo melaporkan wartawan investigasi Amerika Serikat, Allan Nairn, ke polisi di Jakarta, hari Selasa (25/04), dengan sangkaan melakukan pencemaran nama baik dan fitnah melalui media elektronik.
Pelaporan ke Polda Metro Jaya ini terkait dengan tulisan Nairn di situs Intercept dan Tirto, yang masing-masing diberi judul Trump's Indonesian Allies in Bed with ISIS-backed Militia Seeking to Oust Elected President dan Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar.
Chris Taufik, ketua bidang hukum dan advokasi Perindo, partai yang didirikan Hary Tanoesoedibjo, kepada BBC Indonesia mengatakan bahwa dalam tulisan Nairn dikatakan 'seolah-olah ada gerakan makar di Indonesia'.
"Disebutkan salah satu pendukung utamanya, antara lain, adalah Pak Hary Tanoe ... disebutkan pula peran Pak Hary Tanoe seolah-olah sebagai penyandang dana. Dikatakan sudah ada permintaan (untuk menanggapi tulisan), tapi menolak berkomentar," kata Chris.
"Tulisan itu secara keseluruhan kami pandang sebagai fitnah dan pencemaran nama baik," katanya.
'Penelusuran panjang'
Ia menyatakan tidak ada data yang mendukung klaim yang tercantum di artikel Nairn. Di sisi lain, katanya, Hary Tanoe tak pernah berpikir atau bertindak yang terkait dengan makar.
"Pak Hary Tanoe akan selamanya mendukung pemerintah yang sah," kata Chris. "Tuduhannya serius ... makar itu bukan perkara main-main, makanya harus ditempuh upaya hukum."
Dalam wawancara dengan BBC Indonesia, Nairn mengatakan bahwa artikel di Intercept disusun setelah melakukan penelusuran selama satu tahun berdasarkan puluhan wawancara dan verfikasi dokumen, baik yang didapat di Indonesia maupun dari pembocor dokumen rahasia, Edward Snowden.
Selain soal 'dukungan Hary Tanoe', disebutkan pula bahwa sejumlah perwira aktif dan purnawirawan TNI menggunakan demonstrasi anti-Ahok untuk melengserkan Presiden Joko Widodo.
"Di tentara, baik yang pensiun maupun masih aktif, ada banyak jenderal yang tidak puas dengan Jokowi dan takut kemungkinan bahwa di masa depan mereka bisa diadili. TNI ada sejarah panjang bunuh orang sipil, mulai dari 1965 sampai sekarang di Papua," kata Nairn kepada BBC Indonesia.
Namun TNI menepis tuduhan bahwa ada perwira aktif yang terlibat aksi pelengseran Presiden Jokowi.