Sejak Pabrik Semen itu Ada, Tegaldowo Tak Lagi Sepenuhnya Hijau
Tegaldowo, adalah satu dari lima desa ring 1 pabrik semen PT Semen Indonesia. Untuk menjangkaunya, perlu 1 hingga 2 jam perjalanan dari Rembang Kota.
TRIBUNNEWS.COM - Tegaldowo, adalah satu dari lima desa ring 1 pabrik semen PT Semen Indonesia. Untuk menjangkaunya, perlu 1 hingga 2 jam perjalanan dari Rembang Kota.
Di desa itu, tiap tiba pasaran, karung-karung berisi hasil pertanian ditransaksikan di Pasar Tegaldowo. Sebagian menjual hasil bumi.
Tapi, rutinitas itu jadi terganggu dengan hadirnya pabrik semen PT Semen Indonesia dan akan menyusul penambangan.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Sepasang tangan telanjang Abdullah membabat satu per satu batang jagung yang mulai cokelat. Sejak usia tiga tahun, Dullah kecil sudah diajak menanam di lahan bukit kapur di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang.
“Semuanya bagus tumbuh di sini mulai dari jagung, ketela, kacang tanah, pohon keras, cabai, lalu ubi jalar,” ceritanya.
Pagi di bulan Februari, adalah hari ketiga Dullah memanen. Ia ditemani sang istri. Perempuan bercaping itu menutup seluruh tubuhnya, hanya tersisa muka yang kelihatan.
Bersarung tangan, ia mengupas jagung, memasukkan ke karung-karung plastik. Setiap tahun panen jagung di lahannya nyaris selalu meningkat.
“Tidak pernah turun, pernah stabil tapi seringnya memuaskan,” kata Dullah.
Kecamatan Gunem, menurut catatan Dinas Pertanian dan Pangan Rembang, memang masuk tiga besar penghasil jagung tertinggi di kabupaten ini. Tetangga desa bahkan menyebut desa Dullah sebagai 'primadona jagung'.
“Lahannya sendiri 1 hektar lebih, tapi tidak aku tanami semua. Yang aku tanam setengah hektar, yang lain ditanam pohon jati. Tahun kemarin, itu 1 hektar lebih dikit itu (hasilnya) 4,5 ton. Untuk yang sekarang belum tahu, tetapi bagus ini,” ungkapnya sambil sesekali mengisap kretek di sela istirahat memanen.
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Rembang mencatat, pekerjaan paling banyak di kabupaten ini adalah petani.
Di Tegaldowo, saat matahari belum genap tergelincir, orang-orang sudah di petaknya masing-masing.
Lima hingga tujuh orang sudah memacak diri di tengah petak sawah. Dua lelaki yang membalut kepalanya dengan kaus, terlihat menghadapi kotak penggilingan padi.
Ada perempuan yang menyiangi rumput. Di petak lain, tiga laki dan empat perempuan berkumpul merubung tumpukan padi.
Yang paling muda di antaranya adalah Nuryanto. Usianya baru 20 tahun. Tangan kirinya menjambak batang-batang padi, sedang yang kanan mengayun arit.
Sudah dua pertiga lahan dia kerjakan. Terpal untuk menjemur gabah pun mulai digelar. Nuryanto merampungkan panen, bersama ibunya, Parmi.
“Saya bertani jagung dan padi. Sekarang dalam proses panen. Kalau yang di (ladang) atas itu, ladang saya tidak dijual, untuk pertanian saya. Di atas itu tanam jagung, baru 2 minggu. Kemarin saja panen dapat 3 ton jagung. Ada lah (dapat) tujuh juta,” kata pemuda usia awal 20 tahun ini.
Kegiatan macam itu berlangsung hingga sore. Siangnya, ngaso sebentar. Kalau tiba saat panen, ladang dan sawah jadi tempat paling ramai di desa.
Namun empat tahun belakangan, sebagian warga mulai dirundung cemas. Sebuah pabrik semen berdiri di tengah lahan tempat mereka menanam.
Jika pabrik dibangun, pastilah tentu penambangan akan mengikuti. Rangkaian gambaran buruk soal lahan pasca tambang lantas menghantui.
Dullah menceritakan apa yang terjadi di Dusun Pancuran, Desa Tahunan, Kecamatan Sale.
“Kalau ada angin dari timur, debunya itu akan terbawa, menutup daun-daun (jagung). Akan berpengaruh ke pertumbuhan (tanaman)," kata petani Dullah.
Belasan penambangan sejak medio 1990 memang bercokol duluan di kawasan itu. Warga atau petani yang berladang di perbukitan Tegaldowo sampai hafal, setiap jelang tengah hari ledakan berdentum berkali-kali.
“Dari sini ledakan itu terasa. Debu (ledakan tambang) kan menutup daun-daun. Ladang ini agak lumayan jauh, tapi jarak dari tambang yang di situ PT BA (PT Bangun Artha) kan sekitar 400 meteran, ya pas ledakan itu pengaruh,” ungkap Dullah dengan kerut di antara dahinya
Jika dilihat melalui peta citra, tampak atas Kecamatan Sale dan Gunem ini tak lagi sepenuhnya hijau.
Di bagian timur, terlihat growak alias ceruk berwarna putih, menunjukkan bagian yang sudah ditambang.
Kerisauan akan tambang membuat bapak satu anak tersebut mati-matian menolak tambang dan pabrik semen sejak 2012.
Tahun itu, izin lingkungan mulai diurus PT Semen Indonesia yang masih bernama PT Semen Gresik.
Dua tahun setelahnya, pada 2014, perusahaan pelat merah itu memancangkan tiang utama proyek di Rembang. Pabriknya ada di perbatasan Desa Pasucen dan Kajar, tetangga desa Dullah. Sedang sebagian area tambangnya, ada di desanya, Tegaldowo.
Sejak tahun-tahun itu hingga kini, keberadaan PT Semen Indonesia ramai dibicarakan warga. Ada yang mendukung, ada pula yang menolak tapi sembunyi-sembunyi, namun ada juga yang terang-terangan melawan. Seperti Dullah.
“Kami merasakan ketika ada tambang, lahan pertanian terkikis lalu hilang. Dan tidak mungkin orang bekerja di tambang sampai umur 50 tahun itu nggak mungkin. Kalau di lahan pertanian sampai 65 tahun itu masih mungkin kerja,” kata Dullah.
Bahkan pada tahun yang sama seperti peletakan batu pertama proyek, sebuah tenda perjuangan tolak pabrik semen didirikan di pintu masuk tapak pabrik.
Warga dan petani yang menolak segala bentuk perusakan lingkungan itu lantas bergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang.
Petani lain, Nuryanto, pada tahun-tahun itu malah sampai menancapkan papan di ladangnya, tulisannya: Tidak Dijual.
Pada tahun-tahun awal PT Semen Indonesia mulai eksplorasi, tawaran membanjiri warga yang memiliki lahan di daerah perbukitan kapur di Tegaldowo.
“Kalau melihat tambang yang berada di Dusun Pancuran itu saya melihat perusakan. Yang dulunya gunung, tebing itu sekarang sudah dikeruk, rata,” ujar Nuryanto, seraya menunjuk ke belakang bukit kapur.
Sebaliknya, Suwandi tak merasa gelisah. Warga Tegaldowo sekaligus staf Sekretaris Desa ini beranggapan, kekhawatiran akan kekurangan air sudah diatasi PT Semen Indonesia melalui embung yang dibuat di desanya.
“Tadinya kan kalau mau menanam padi itu sistem kering (gogo rancah), tapi kan sekarang tidak, bisa ditraktor dan air ambil dari embung. Walaupun sekarang belum ambil air embung, kan, masyarakat kan nggak perlu spekulasi, kalau mengantisipasi sudah tanam tapi hujan tidak turun kan bisa ambil dari sana (embung),” papar Wandi.
Sementara Bupati Rembang, Abdul Hafidz merasa keberadaan PT Semen Indonesia pantas dipertahankan.
Menurutnya, warga di Kecamatan Gunem akan lebih sejahtera dengan pertambangan dibanding tetap bertani. Ia bahkan menghitung, penerimaan daerah akan bertambah ratusan miliar Rupiah.
“Di sana ada sawah 91 hektare, karena di atas karst produksinya tidak sebagus tanah lain. Maksimal produksinya rata-rata 4 ton padi perhektare. Kan hasilnya 360an ton itu gabah, kalau jadi beras kan tinggal 90 ton. Padahal ada 7000an orang, kalau sehari saja 2,5 ons itu ada 1750 kilo perhari, kalau setahun kan 500 ton lebih. Sementara tersedia berasnya hanya 240 ton, ditunjang panen jagung di tanah kering. Jagung itu maksimal 3 ton 4 kwintal produksinya, dan itu kalau dipaksakan orang sana bertani, saya pastikan akan tetap miskin. Seperti pas,” papar Hafidz.
Selama ini data menunjukkan, sektor pertanian selalu mengambil porsi tertinggi dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Rembang.
Hafidz mengklaim, Gunem tidak termasuk lumbung pangan. Sehingga tak jadi soal jika sebagian wilayah itu ditambang.
Anggapan serupa diutarakan Sekretaris Perusahaan PT Semen Indonesia Agung Wiharto kepada KBR. Menurut Agung, Kecamatan Gunem merupakan kawasan tandus sehingga layak ditambang.
“Pilihan ke Rembang juga melalui penilaian panjang. Sebelumnya kami di Pati, tapi kami tahu itu harus dilindungi maka kami cari tempat lagi. Dapatlah di Rembang. Kalau dilihat itu tanahnya tandus, bebatuan, kering,” tutur Agung.
Sepintas, pernyataan itu kelihatan masuk akal. Karena dari jauh, yang tampak di perbukitan kapur memang batuan belaka.
Namun saat didekati, ada lapis tanah tipis di mana jagung anakan mulai tumbuh. Di lapis tanah itulah, Dullah dan petani lain masih menanam.
Di hamparan perbukitan kapur itulah, tampak di antaranya jagung, ketela, padi, juga kacang-kacangan.
“Nggak pengen dijual (lahannya). Di sini mayoritas petani, kalau lahan pertaniannya hilang, apa yang mau dilakukan para petani?” tanya Dullah.
Dan di baris-baris Pegunungan Kendeng ini pula, ada Nuryanto, Dullah, dan, orang-orang lain yang, hingga kini masih ingin menanam.
“Kami tetap ingin bertani. Kesejahteraan itu kan maknanya berbeda bagi tiap orang. Nggak sama. Orang tani, sama pegawai negeri, lalu pak polisi, pak menteri, kan beda-beda. Haruskah semua itu sama? Jadi kami nggak ingin ada pabrik semen. Sebagai petani kami sudah merasa sejahtera," tukas Dullah, petani.
Penulis: Nurika Manan/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)