Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tak Sesuai Harapan, Embung Tegaldowo Lebih Sering Digunakan Muda-Mudi Ketimbang Petani

Embung dan pipanisasi menjadi dua solusi yang ditawarkan PT Semen Indonesia menanggapi kecemasan atas ketersediaan air, ketika tambang berjalan.

KBR/ Nurika Manan
Aliran mata air Brubulan Pasucen.
KBR/Nurika Manan
Bebatuan kapur di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Embung dan pipanisasi menjadi dua solusi yang ditawarkan PT Semen Indonesia menanggapi kecemasan atas ketersediaan air, ketika tambang berjalan.

Betulkah danau buatan atau embung di ring 1 pabrik, di Desa Tegaldowo  itu mampu menggantikan posisi Cekungan Air Tanah Watuputih sebagai penyimpan air?

Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).

Dua perempuan menggosok pakaian di batu-batu di sekitar aliran mata air di Rembang, Jawa Tengah. Dari pangkal mata airnya, menjulur pipa-pipa menuju saluran air rumah-rumah warga untuk dikonsumsi sehari-hari dan pertanian.

Mata air itu adalah Brubulan Pasucen – salah satu yang ada di kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih. Belakangan diketahui kalau kawasan tersebut masuk area pertambangan dan tapak pabrik PT Semen Indonesia.

Di CAT Watuputih pula ada 29 mata air. Ini sesuai pendataan ahli geologi dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) pada 2015, Nandra Eko Nugraha.

Brubulan Pasucen adalah satu dari empat mata air yang berdebit besar. Data lain dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) menunjukkan ada 154 mata air di sana. Beda lagi dengan data dari dokumen Amdal PT Semen Indonesia yang menyebut 45 mata air.

Sumber air inilah yang jadi sandaran hidup warga setempat. Karena itulah gusar langsung menyeruak begitu ada rencana tambang dan pendirian pabrik semen. Begitu tambang hadir, sudah pasti ini bakal merusak alam, termasuk mengancam keberadaan air.

Tenaga ahli PT Semen Indonesia Budi Sulistyo, yang adalah pakar pertambangan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengklaim, puluhan mata air itu tak akan terganggu.

Apalagi luas wilayah proyek dipersempit dari 520 hektar menjadi 293 hektar. Kata dia, perubahan ini telah mengeluarkan mata air dari wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP).

“Demi kehati-hatian, lokasi IUP tidak ada namanya gua, tidak ada namanya mata air. Tapi kalau di lokasi CAT itu memang ada, mata air kan di mana-mana ada. Tapi di dalam IUP, itu tidak ada. Yang jadi masalah, kenapa mata air itu seolah-olah di dalam IUP, gua di dalam IUP, "ungkap Budi Sulistyo, tenaga ahli PT Semen Indonesia.

Namun dari uji lapang yang diteliti Nandra pada 2015, ditemukan ada dua mata air yang masuk wilayah IUP PT Semen Indonesia; mata air Belik Rotan dan Belik Sawahan. Tapi ketika KBR memeriksa adendum Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), nama kedua mata air itu tak ada di sana.

Perbedaan antara data Amdal dengan kondisi di lapangan itulah yang memicu sebagian warga Rembang menolak tambang dan pabrik semen.

Penolak yang mayoritas petani, berkeras dengan alasan tambang akan mengganggu ketersediaan air. Berulang-ulang ketakutan itu disuarakan.

Tapi berkali-kali pula pihak perusahaan dan pemerintah provinsi Jawa Tengah menyodorkan klaim, pertambangan takkan mengganggu mata air.

Argumen yang dipakai yakni debit air di kawasan itu ditemukan tak berubah kendati belasan tambang telah bercokol sejak 1990-an.

Bahkan tenaga ahli dari PT Semen Indonesia, Budi Sulistyo, menyebut pengeprasan atau pemotongan bagian atas karst justru akan mempercepat masuknya air melalui rekahan batugamping.

“Karst itu bukan kawasan lindung, tapi seolah-olah yang beredar di masyarakat itu karst adalah kawasan lindung. Karst adalah batu gamping yang berlubang, karena ada pelarutan. Kita di negara topis ya semua karst berlubang. Dan pemerintah, dengan bijaksana tidak menetapkan karst sebagai kawasan lindung. Yang kawasan lindung itu KBAK (Kawasan Bentang Alam Karst),” sanggahnya.  

Padahal, stabilnya debit air di sana justru jadi petunjuk: kawasan CAT Watuputih betul berfungsi sebagai pengatur air alamiah yang meresapkan, mengalirkan, dan mengeluarkan air hujan menjadi mata air.

Debit yang stabil itu menunjukkan ada suplai yang terus-menerus dari sebuah ekosistem Watuputih. Dan kalau bagian atas dipotong, fungsi karst sebagai pengatur air alami pasti menurun.

“Karst itu menjadi satu-satunya media yang bisa menangkap air hujan secara mandiri, ada yang namanya Muka Air Tanah (MAT). Di karst itu tidak begitu berlaku, karena sifat difus dan conduitnya. Aku punya hitung-hitungan sederhana, ketika (batugamping) dipangkas 15 centimeter saja itu berapa juta liter air yang hilang,” kata Nandra Eko Nugroho, pakar geologi UPN.

Kata Nandra, dampak baru akan terasa kelak, puluhan tahun mendatang. Penurunan fungsi karst sebagai pengatur air alami membikin debit mata air akan meningkat pada musim hujan.

Sebaliknya, akan turun drastis di musim kemarau. Artinya sistem penyimpanan air bakal kacau. Saat itu, petani boleh jadi tak lagi bisa mengeduk tanah demi menemukan sumber air.

PT Semen Indonesia menawarkan solusi, mulai dari membangun embung, pipanisasi sampai pembuatan sumur bor. Salah satu embung berkapasitas 16.000 meter kubik kelar dibangun di Tegaldowo, Kecamatan Gunem.

Salah satu warga, Suwandi, memiliki lahan berjarak 1 kilometer dari embung. Ia mengaku merasakan manfaat, meski belum pernah menggunakan airnya.

”Walaupun sekarang belum ambil air embung, kan, masyarakat kan nggak perlu spekulasi. Kalau mengantisipasi sudah tanam tapi hujan tidak turun kan bisa ambil dari sana (embung). Kedua, embung kan bisa menampung air sementara, jadi mengurangi banjir. Lalu, di sini kan jauh dari tempat bermain, kalau hari Minggu itu jadi tempat bermain anak (rekreasi)," kata staf sekretaris desa itu.

Namun tak seluruh petani menikmati. Nuryanto, petani Tegaldowo, mengaku sulit mendapat aliran air dari embung yang letaknya lebih rendah dari lahannya.

“Dari embung sekitar 1 kilometer. Kalau mau irigasi dari sana tidak bisa, karena sawah saya lebih tinggi dari embung. Itu hanya bisa mengairi sawah sekitar. Sepertinya tidak bisa sampai sini,” ungkapnya.

Alih-alih mencukupi kebutuhan irigasi pertanian, Embung Tegaldowo tampak lebih sering digunakan muda-mudi bersantai menikmati sore. Entah sekedar duduk-duduk di gazebo atau berswa-foto.

Dari kejauhan, plang nama bertulis Embung Tegaldowo menyala di antara bentangan hijau sawah. Beton artifisial bercat merah memang tampak menarik dijadikan titik berfoto, apalagi dengan latar perbukitan kapur.

Dalam adendum atau dokumen tambahan Amdal, PT Semen Indonesia memang meniatkan embung tersebut memiliki tiga fungsi; memenuhi kebutuhan irigasi pertanian, mengurangi banjir, dan menjadi tempat rekreasi. Yang terakhir nampaknya yang berhasil. 

Embungnya sendiri, pada akhir Februari 2017 lalu, tak penuh. Kali-kali yang terhubung dengan embung, kering. Dengan luasan 1,3 hektar, embung hanya terisi 2,5 meter jika musim kemarau tiba. Kondisi ini tak akan terjadi ketika penampungan air dilakukan oleh karst.

“Aku akan menolak ketika hitung-hitungan risikonya akan lebih besar dibanding untungnya. Jadi ibaratnya, pembangunan yang memperparah risiko akan kita tolak. Ketika ada pembangunan, itu akan menambah risiko ke belakangnya, kami akan bergerak,” jelas Nandra, ahli geologi dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN).

Terganggunya suplai air dari kawasan CAT Watuputih tak hanya urusan warga di lima desa ring 1 pabrik semen; Kadiwono, Kajar, Pasucen, Timbrangan dan Tegaldowo.

Penelitian Nandra menunjukkan, penambangan akan berdampak pada pasokan air ke sejumlah sungai yang mengalir melewati Grobogan dan Purwodadi.

Sesuai interpretasi citra dan peta rupa bumi, CAT Watuputih merupakan hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS) tiga sungai besar antara lain Bengawan Solo, Lusi dan Sungai Tuyuhan.

Penulis : Nurika Manan/ Sumber : Kantor Berita Radio (KBR)

Admin: Sponsored Content
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas