Jadi Media Aspirasi Tanpa Sensor, Zine Mulai Populer di Indonesia
Zine adalah seperti sejenis publikasi cetak. Temanya beragam mulai dari yang santai sampai yang serius bahkan soal kehidupan.
TRIBUNNEWS.COM - Gunting, kertas dan lem adalah benda-benda sederhana. Tapi lewat bantuan benda-benda itu bisa lahir karya yang menampung beragam ide menarik.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Asia Calling produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Setelah melewati gang yang berkelok-kelok dengan cat dinding yang sudah mengelupas, wartawan KBR, Nicole Curby, akhirnya tiba di sebuah gudang yang dipenuhi anak punk, seniman dan alunan musik.
Salah satunya adalah musisi dan pembuat zine, Kartika Jahja.
“Nama saya Kartika dan saat ini kami ada di Bandung untuk mengikuti Bandung Zine Festival. Ini adalah acara tahunan yang diadakan sebuah komunitas di Bandung bagi para pembuat dan pencinta zine dan yang ingin tahu lebih banyak soal zine. Jadi hari ini ada para pembuat zine dari seluruh Indonesia,” ujar Kartika.
Ini adalah Festival Zine Bandung yang ketiga. Festival ini pertama kali diadakan pada 2012.
Rian, seorang fotografer dan pembuat zine asal Depok, menyatakan keheranannya karena banyak orang yang datang di festival ini. Namun, sebenarnya, apakah zine itu?
“Zine adalah seperti sejenis publikasi cetak. Temanya beragam mulai dari yang santai sampai yang serius bahkan soal kehidupan. Semua itu kami visualisasikan. Kadang-kadang kami menggunakan tulisan, gambar, atau foto,” jelas Rian.
Meja-meja dipenuhi berbagai terbitan buatan rumah yang diperbanyak dengan cara difotokopi.
Selama satu hari ini, para pembuat dan pecinta zine saling bertukar, menjual dan membagikan kreasi mereka.
Pembuat dan distributor zine dari Jakarta Selatan, Ika Vantiani, menjelaskan bagaimana dia membuat zine.
“Sebagian besar zine saya buatan tangan. Bahan dan alatnya hanya kertas, lem dan gunting. Hanya itu yang saya pakai,” kata Ika.
Biaya pembuatan zine cenderung murah karena biaya yang dikeluarkan hanya biaya fotokopi. Dan karena menerbitkan sendiri, penulis zine bisa menulis dan menggambar apa saja di dalamnya.
Ika bercerita bagaimana dia pertama kali menemukan zine 16 tahun yang lalu.
"Suatu malam, di belakang mobil teman saya yang baru pulang dari Bandung, saya melihat zine. Saya membacanya dan sangat tertarik. Saya tidak pernah kepikiran membuat semacam ini, menerbitkan tulisan saya sendiri,” kisah Ika.
“Tapi malam itu mencerahkan saya. Ini adalah sesuatu yang selalu saya ingin lakukan, jadi mengapa tidak saya lakukan sendiri. Jadi saya menerbitkan zine saya sendiri pada tahun 2000,” tambah Ika.
Zine penuh dengan hal-hal yang tidak akan pernah dicetak di media lain.
Wartawan KBR, Nicole Curby, menemukan zine bersampul merah. Isinya tentang menstruasi dan tulisan para perempuan tentang tubuh mereka. Ada juga zine yang berisi soal bersin, lengkap dengan sketsa orang sedang bersin.
Selain itu ada zine yang berisi tulisan-tulisan tentang politik dan bahkan ada zine yang memuat pengakuan yang sangat pribadi.
Selain berisi karya seni, ada juga zine yang berupa coretan-coretan kasar, dan ada yang digabungkan dengan CD musik.
Panita penyelenggara Festival Zine, Deden Erwin Suherman, mengatakan dalam beberapa tahun zine mengalami perubahan.
“Mungkin dulu banyak kawan-kawan hanya bikin zine dari photostate, xerox, tapi sekarang mereka sudah ada yang colourful, mulai dari cetakannya, mulai dari packaging. Banyak progress di zine zine lokal di Bandung dan juga mungkin di Indonesia. Progress sangat bagus,” kata Deden.
Tidak hanya bentuk zine yang berubah. Saat ini makin banyak perempuan yang terlibat dan isinya juga berbeda kata Deden.
“Kalau dulu mungkin karena di Bandung, wacana-wacana seperti anarchism, punk, isu-isu politik, gitu masih banyak, masalah left-wing gitu. Tapi sekarang bervariasi mulai dari musik, sport, makanan, wanita. Jadi sekarang tema-tema sudah banyak berubah dari mulai dulu yang hanya tentang politik, anarchism, tapi sekarang sudah mulai banyak tema,” ungkap Deden.
Bahkan saat media sosial dan internet telah menyusup di setiap sudut dunia, zine masih memiliki tempat khusus.
“Orang-orang masih memilih zine mungkin karena dari situ, mereka masih bebas. Tidak ada rules untuk how to make zine. Mereka bebas saja. Tidak ada deadline, tidak ada apapun, tapi sekarang banyak orang yang mungkin yang lebih mereka fokus bikin zine,” ujar Deden.
Dengan masih dengan basic style zine dengan bahasa mereka sendiri. Tidak ada benturan modal, tidak ada di situ, tidak ada yang censorship atau apapun.
Menjadi saingan dari media mainstream dan zine hari ini masih ada penting untuk bisa terus di cetak dan disebarkan kepada siapa pun.
Menurut Ika Vantiani, semua orang punya kemampuan untuk menciptakan sesuatu seperti ini.
“Semua orang harus mengalami sekali dalam hidupnya, bagaimana rasanya membuat zine dengan tangan mereka. Sehingga Anda tahu kalau Anda punya kemampuan untuk menerbitkan media, tidak hanya menerima media, seperti yang setiap hari kita alami,” tutup Ika.
Penulis: Nicole Curby/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)