Dirut PT Garam Dicokok Usai Borong Garam Industri, Rugikan Negara Rp 3,5 Miliar
Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Badan Reserse Kriminal Polri menangkap Direktur Utama PT Garam (Persero), Achmad Boediono.
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Badan Reserse Kriminal Polri menangkap Direktur Utama PT Garam (Persero), Achmad Boediono, Sabtu (10/6/2017).
Achmad Boediono disangka melanggar Pasal 62 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, melanggar Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan melanggar Pasal 3 atau Pasal 5 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Agung Setya menjelaskan, Achmad Boediono berperan pada tindakan penyalahgunaan impor garam, yang seharusnya impor garam konsumsi, namun realisasinya menjadi garam industri.
Tindakan tersebut menyebabkan kerugian negara, salah satunya dilihat dari hilangnya potensi penerimaan bea masuk importasi.
Mengacu PMK Nomor 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor, maka importasi garam konsumsi dikenakan Bea Masuk (BM) sebesar 10 persen dari nilai importasi.
"Kerugian negara, kami merumuskan setidaknya atas tidak dibayarkannya BM 10 persen, maka ada Rp 3,5 miliar yang tidak dibayarkan yang bersangkutan (ke negara)," kata Agung di Mabes Polri, Jakarta, Minggu (11/6/2017).
Agung mengatakan, berdasarkan penugasan pemerintah, PT Garam pada tahun ini akan melakukan importasi garam konsumsi sebesar 226.000 ton.
Pada tahap pertama, PT Garam merealisasikan sebanyak 75.000 ton, yang dilakukan pada bulan April 2017.
Proses pengadaan diikuti oleh delapan perusahaan terdiri dari enam perusahaan asal India dan dua perusahaan asal Australia.
Surat persetujuan impor (SPI) yang dikeluarkan Kementerian Pedagangan sebelumnya, sesuai penugasan kepada PT Garam, yaitu untuk garam konsumsi. SPI yang sudah dikeluarkan itu yaitu SPI Nomor 42 dan SPI Nomor 43.
Ternyata, pemenang lelang yaitu satu perusahaan dari India dan satu perusahaan dari Australia, keduanya adalah pemilik garam industri.
Sehingga PT Garam tidak bisa merealisasikan kedua SPI, lantaran izin impor (garam konsumsi) dan barang yang akan diimpor (garam industri) berbeda.
Akhirnya PT Garam meminta perubahan Harmonized System (HS) Code menjadi garam industri, dan dikeluarkanlah SPI Nomor 45.
Terkait dengan pihak administrator yang mengeluarkan rekomendasi yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta SPI yaitu Kementerian Perdagangan, Agung mengatakan pihaknya terus melalukan pemeriksaan.
"Kami akan dalami karena proses pengadaan ini juga kami duga ada penyimpangan," kata dia.
Dari sebanyak 75.000 ton garam industri yang sudah masuk, sebanyak 1.000 ton sudah dikemas sendiri oleh PT Garam sebagai garam konsumsi.
Sedangkan sebanyak 74.000 ton lainnya dipindahtangankan kepada 35 perusahaan garam konsumsi lokal.
"Kami melihat bahwa PT Garam ini sudah menerima uang hasil penjualan Rp 71 miliar totalnya. Tetapi, kami akan melakukan pendalaman," kata Agung.
Agung menambahkan, harga asli garam industri yang diimpor PT Garam sekitar Rp 400 per kilogram. PT Garam menjual kepada 35 perusahaan tersebut dengan harga Rp 1.200 per kg, sehingga ada disparitas harga yang sangat tinggi dan merugikan konsumen.
Untuk diketahui, saat ini hanya PT Garam lah pelaku industri garam tanah air yang boleh mengimpor garam konsumsi.
Agung menyampaikan, pada tanggal 1 Maret 2017, PT Garam mengumpulkan kurang lebih 53 perusahaan garam yang memproduksi garam konsumsi. Tujuannya adalah untuk mendapatkan rencana kebutuhan.
"Perusahaan-perusahaan garam konsumsi itu diminta untuk memberikan (informasi) berapa kebutuhan mereka masing-masing," kata Agung di Mabes Polri, Jakarta, Minggu (11/6/2017).
Pada tanggal itu juga PT Garam mengumpulkan delapan pemasok dari India dan Australia. Dan pada hari itu juga diputuskan satu perusahaan asal India dan satu perusahaan asal Australia memenangkan lelang.
Satu perusahaan asal Australia akan memasok sebanyak 55.000 ton dan satu perusahaan asal India akan memasok sebanyak 20.000 ton.
Fakta lain yang ditemukan yaitu, ternyata PT Garam sebelumnya sudah mengantongi Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan untuk importasi garam konsumsi sebanyak 75.000 ton, yaitu SPI Nomor 42 dan SPI Nomor 43.
Agung mengatakan, izin tersebut urung direalisasikan lantaran, pemenang lelang (perusahaan asal Australia dan India) tersebut faktanya adalah pemasok garam industri.
"Saudara AB ini berperan terkait permintaan dukungan. Artinya, dia mengubah rencana importasi garam konsumsi (sesuai SPI) menjadi garam industri (sesuai pemenang lelang)," kata Agung.
"Mengubah konsentrasi NaCl dalam surat permohonan impornya, menjadi di atas 97 persen (garam industri). Kemudian diberikan dukungan dari KKP ke Kemendag dalam hal ini Ditjen Daglu," kata dia.
Setelah perubahan konsentrasi NaCl atau kadar garam dalam surat permohonan impor, PT Garam lantas berhasil mengantongi SPI Nomor 45 untuk importasi garam industri.
"Proses pengadaan ini kita duga ada penyimpangan," imbuh Agung.
Tak hanya itu saja pelanggaran yang dilakukan tersangka, garam industri yang kemudian dikemas sebagai garam konsumsi dengan cap SEGI TIGA G melanggar Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Salah satunya terkait informasi produk yang tidak sesuai.
"Di kemasan disebutkan bahwa garam ini terbuat dari bahan baku lokal. Padahal impor. Kemudian kalau itu garam konsumsi, maka kandungan NaCl-nya tidak boleh lebih dari 97 persen. Tetapi, hasil lab mengatakan kandungannya 99 persen," ujar Agung seraya mengatakan, pihaknya akan memeriksa pihak-pihak yang berwenang memberikan izin importasi garam, yakni pejabat Kementerian Perdagangan serta yang merekomendasikannya, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
"Kami lakukan pendalaman. Hari ini tim juga melakukan penggeledahan di PT Garam," katanya.(kps/coz)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.