Ide Pemindahan Ibukota ke Kalimantan Bisa Kurangi Kepadatan Populasi di DKI
"Jakarta tetap menjadi pusat bisnis, sedangkan ibukota baru sebagai pusat pemerintahan," jelas Abdullah.
Penulis: Adiatmaputra Fajar Pratama
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana perpindahan ibukota negara Republik Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan didukung Anggota DPR RI Syarief Abdullah Alkadrie.
“Perpindahan ibukota dapat mengurangi beban Jakarta yang sudah terlalu padat," ujar Abdullah, Rabu (5/7/2017).
Abdullah memaparkan Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan pusat bisnis sudah terlampau berat. Beban ini harus dipisah.
"Jakarta tetap menjadi pusat bisnis, sedangkan ibukota baru sebagai pusat pemerintahan," jelas Abdullah.
Politisi Nasdem itu memaparkan kawasan di Kalimantan masih luas dengan sumberdaya alam yang masih banyak tersedia. Selain itu kata Abdullah wilayah Kalimantan relatif aman dari bencana alam seperti gunung api, banjir, gempa.
“Kalbar atau Kalteng itu posisi nya ditengah-tengah Indonesia dan masih dekat dengan Jakarta. Akses dari Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Papua juga lebih dekat,” papar junior Sultan Hamid II ini.
Wacana pemindahan ibu kota ini pertama kali muncul di era pemerintahan Presiden Pertama RI Soekarno memimpin. Kemudian, wacana itu muncul kembali saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat presiden RI di 2013.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun akhirnya melanjutkan wacana ini dengan meminta Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro terlebih dahulu melakukan kajian secara mendalam.
Sebelumnya, Indonesia pernah tiga kali pindah ibukota. Pemindahan ibu kota yang pertama adalah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Setelah Yogyakarta, ibu kota Indonesia sempat juga dipindah ke Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 19 Desember 1948.
Kemudian pemindahan ibu kota yang terakhir adalah ke Bireuen, Aceh. Pemindahan itu juga terjadi pada tahun 1948, namun hanya berlangsung selama seminggu.