Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Analisis Pengamat Pasca-Pembubaran Hizbut Tahrir

"Teorinya begitu, di Timur Tengah jelas sekali, pelajaran yang dipetik dari Timur Tengah menghadapi radikalisme, memang selalu begitu."

Editor: Choirul Arifin
zoom-in Analisis Pengamat Pasca-Pembubaran Hizbut Tahrir
TRIBUN JABAR / GANI KURNIAWAN
TOLAK PEMBUBARAN HTI - Massa yang tergabung dalam Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Islam melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, Jalanq Diponegoro, Kota Bandung, Senin (22/5/2017). Dalam aksinya itu, mereka menyatakan sikap menuntut pemerintah untuk menghentikan upaya kriminalisasi terhadap ulama, aktivis Islam, dan gerakan dakwah Islam, serta menolak rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan ormas Islam lainnya. TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN 

TRIBUNNEWS/COM, JAKARTA -  Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mempertimbangkan untuk mengajukan gugatan ke PTUN untuk menanggapi langkah Kementerian Hukum dan HAM yang sudah secara resmi mencabut status badan hukum organisasi tersebut.

Tapi pengamat menilai pembubaran ini justru akan berdampak pada menguatnya radikalisme di kalangan pendukung HTI.

Pengamat politik Islam dari UIN Sunan Kalijaga, Noorhaidi Hasan, melihat kemungkinan anggota HTI justru terdorong ke kelompok radikal setelah organisasinya dibubarkan.

"Teorinya begitu, di Timur Tengah jelas sekali, pelajaran yang dipetik dari Timur Tengah menghadapi radikalisme, memang selalu begitu. Biasa setelah open tension, mereka tiarap, menyusun kekuatan, nanti kan rezim berganti, lalu dalam situasi politik yang memungkinkan mereka bangun lagi. Nggak pernah benar-benar bisa diatasi. Kita juga kan waktu Orde Baru di-repressed dengan cara itu kan?" kata Noorhaidi.

Menurut Noorhaidi, langkah pemerintah selama ini dalam 'memberikan ruang' sebenarnya justru 'mematikan kelompok-kelompok ini'.

Noorhaidi menyebut contoh Indonesia dalam memberi ruang terhadap Majelis Mujahidin Indonesia. "Dengan munculnya Majelis Mujahidin Indonesia ini, justru ada banyak faksi-faksi jihadis yang bisa dikontrol, didekati, diajak bicara," tambahnya.

Pembubaran atau 'represi', menurut Noorhaidi, akan memberi justifikasi terhadap kerangka aksi yang selama ini dikembangkan oleh organisasi seperti Hizbut Tahrir.

Berita Rekomendasi

"Misalnya mereka selama ini bilang, kami ini orang-orang yang dimarginalisasi, dizalimi oleh pemerintah yang berkuasa, ketika kemarin ada ruang, sebenarnya teriakan mereka bahwa mereka kelompok yang dizalimi itu tidak begitu relevan, diberi akses kok, kenapa bilang dizalimi.

"Nah sekarang argumen bahwa mereka orang-orang yang dizalimi, orang-orang yang tidak diberi kesempatan oleh negara dalam berpartisipasi dalam ruang publik yang terbuka itu menjadi relevan," kata Noorhaidi.

Masukan sejumlah pihak

Sebagai tindak lanjut dari keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 atau Perppu Ormas, Kementerian Hukum dan HAM sudah secara resmi mencabut status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia sehingga organisasi itu kini dibubarkan.

Surat keputusan pencabutan itu didasarkan pada pasal 80A pada Perppu 2/2017 yang sebelumnya diperkarakan HTI ke Mahkamah Konstitusi.

Direktur Jenderal Administrasi Hukum Freddy Harris mengatakan pencabutan badan hukum HTI bukan keputusan sepihak, namun keputusan itu diambil berdasarkan fakta, data serta koordinasi sejumlah lembaga negara di sektor politik, hukum, dan keamanan.

Halaman
12
Sumber: BBC Indonesia
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas