ACTA Sebut UU Pemilu 2017 Beri Peluang Adanya Capres Tunggal
Dengan adanya ambang batas 20 persen kursi di lembaga legislatif atau 25 persen suara sah nasional
Penulis: Rizal Bomantama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) resmi mengajukan permohonan uji materiil Undang-undang (UU) Pemilu 2017 yang baru saja disahkan oleh DPR RI.
Dalam permohonan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi hari ini, Senin (24/7/2017), ACTA menyebut Pasal 222 UU Pemilu 2017 sengaja diloloskan untuk mendesain secara sengaja skenario calon presiden tunggal.
"Dengan adanya ambang batas 20 persen kursi di lembaga legislatif atau 25 persen suara sah nasional seakan-akan ingin melanjutkan dominasi partai pemenang pemilu sebelumnya. Padahal kalau dilogika kenapa presiden sebagai pemimpin tertinggi di negara ini justru ditentukan oleh jumlah kursi di lembaga legislatif."
"Itu namanya kartel politik, supaya terus mendominasi dan partai-partai baru tidak dapat berkompetisi. Lalu kami berpikir ini sepertinya ujungnya ingin mendesain adanya capres tunggal, lewat laporan ini lah kami ingin mencegah hal itu," ungkap Wakil Ketua ACTA, Hendarsam Marantoko.
ACTA yang dalam laporannya menyebut nama Habiburokhman sebagai prinsipal berpegang pada Pasal 6A ayat 1 Undang-undang Dasar 1945.
Dalam pasal itu jelas mengatur bahwa yang berhak mengajukan capres dan cawapres adalah partai pemenang pemilu tanpa ada embel-embel berapa perolehan kursi di parlemen dan lain sebagainya.
"Petitum atau tuntutan utama kami adalah memohon kepada Majelis Hakim MK untuk memutuskan bahwa Pasal 222 UU Pemilu 2017 bertentangan dengan UUD 45 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," katanya.