Penasihat Hukum: Kasus Miryam S Haryani Adalah Peradilan Umum, bukan Tipikor
Tim penasihat hukum terdakwa Miryam S Haryani menegaskan kasus yang menjerat kliennya bukanlah perkara korupsi
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim penasihat hukum terdakwa Miryam S Haryani menegaskan kasus yang menjerat kliennya bukanlah perkara korupsi melainkan kewenangan peradilan umum.
Heru Andeska, salah satu anggota penasihat hukum, mengatakan sangkaan Jaksa kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Miryam adalah terkait memberikan keterangan tidak benar.
Pasal tersebut diatur dalam Pasal 22 Jo Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana pemberantasan korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Menurut Heru, perbuatan Miryam yang didakwa Jaksa memberikan keterangan tidak benar bukanlah ranah tindak pidana korupsi.
"Dalam perkara a quo surat dakwaan JPU terhadap terdakwa tidak memperhatikan apa yang telah dilakukan terdakwa bukan termasuk dalam tindak pidana korupsi," kata Heru saat membacakan eksepsi penasihat hukum, di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (24/7/2017).
Heru mengungkapan keberadaan Pasal 22 yang dimuat dalam Bab III tentang tindak pidana lain, sedangkan Bab II tentang tindak pidana korupsi, berarti pembuat undang-undang secara terang, tegas dan jelas bahwa tindak pidana lain tersebbut tidak termasuk/bukan sebagai tindak pidana korupsi, meskipun diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi.
"Jadi kalau dalam proses hukum ditemukan adanya tindak pidana lain yang dimuat dalam Undang-Undang Tipikor maka proses pengadilannya diserahkan kepada peradilan umum dan bukan pengadilan tindak pidana korupsi," kata Heru.
Dengan demikian, kata Heru, Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi tidak berwenang untuk mengadili perkara Miryam sesuai dengan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 46 tahun 2009 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 5 berbunyi pengadilan tindak pidana korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, menagdili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi.
Sementara Pasal 6 adalah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang yang tidak pidana asalnya adalah pidana korupsi dan atau tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak ppidana korupsi.