Tokoh dan Budayawan Ingin Kebudayaan Kembali Jadi Ruh NKRI
"Yang ada adalah negara madinah, yakni negara berkeadaban, berkebudayaan dan melibatkan semua unsur bangsa dari berbagai agama dan suku," kata Said
Editor: Husein Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebudayaan merupakan pondasi cara berfikir, sikap dan perilaku lahirnya Indonesia. Kebudayaan telah menjadi nafas masyarakat Nusantara bahkan sebelum hadirnya Indonesia sebagai entitas negara-bangsa.
Demikian salah satu kesimpulan yang lahir dari acara Silaturahim Kebudayaan digelar di gedung PBNU lt. VIII yang didukung oleh Lesbumi, Griya Oetami, NU Radio dan Jayakarta Paguyupan Tosanaji pada Jumat (28/7).
Acara yang mengambil tema tema “Meneguhkan Eksistensi Budaya dalam rangka Memperkuat Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia” ini dihadiri oleh para budayawan dan para tokoh agama dengan tujuan meneguhkan nilai budaya dalam upaya menguatkan semangat keindonesiaa, sekaligus mengurai dialektika nilai antara budaya, agama dan negara dalam menjawab ancaman disintegrasi nasional.
“Kebudayaan sejak dahulu telah menjadi bagian integral dan tidak dapat dipisahkan dari denyut nadi masyarakat Nusantara. Wali Songo, misalnya, menjadikan kebudayaan sebagai medium fundamental diseminasi ajaran Islam yang telah mencirikan ajaran agama dalam bentuknya yang khas, yakni Islam Nusantara yang santun, fleksibel dan adaptif dengan perkembangan zaman. Melalui kreasi adilihung wayang, tembang-tembangan, dan alat musik tradisional, Wali Songo berhasil membangun dialog mutualistik antara budaya dan agama,” ungkap Said Aqil Siraj, Ketua Umum PBNU yang menjadi keynote speaker dalam acara ini.
Said Aqil juga menyinggung keberadaan negara islam. Bahwa sejatinya tidak ada negara islam, jika merujuk pada konsep negara yang dibangun oleh Rosulullah.
"Yang ada adalah negara madinah, yakni negara berkeadaban, berkebudayaan dan melibatkan semua unsur bangsa dari berbagai agama dan suku," kata Said Aqil.
Senada dengan Said Aqil, Agum Gumelar sebagai salah satu narasumber mengatakan, “Para founding fathers NKRI pun menyadari betapa kebudayaan merupakan nafas kehidupan dari eksistensi berbangsa dan bernegara, baik secara filosofis maupun konseptual, dengan menempatkan kebudayaan sebagai identitas nasional.”
Lebih lanjut, Agum Gumelar memberikan catatan penting tentang ancaman budaya asing terhadap budaya nasional.
"Kita harus waspada terhadap ancaman budaya global yang saat ini telah benar-benar mengancam eksistensi budaya kita," tegas Agum.
Selain Agum, Gusti Puger, yang juga narasumber menyatakan bahwa manifestasi nilai-nilai budaya yang telah tumbuh dan berkembang sebelum masuknya agama-agama besar di bumi nusantara ini dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang kemudian dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan Nasional.
“Pada konteks ini, Pancasila dan roh Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ungkap Gusti Puger.
"Ditengah informasi yang tak terbendung, nilai-nilai kearifan lokal dianggap benda usang yang tak perlu lagi diurus dan diolah menjadi tata nilai terbarukan dalam dinamika jaman,” lanjut Gusti Puger.
Meski demikian, narasumber lainnya, Agus Sunyoto, mengungkapkan fakta bahwa kini kebudayaan telah termarjinalkan oleh arus konvergensi media.
Dalam kondisi semacam ini, semua pihak dalam forum silaturahim budaya ini sepakat bahwa negara seharusnya hadir untuk mengembalikan kebudayaan sebagai identitas nasional melalui beragam affirmative action policy pemerintah.
Acara semacam ini menjadi penting untuk mengingatkan kembali bangsa Indonesia dalam merevitalisasi nilai budaya sebagai rancang bangun pondasi negara kesatuan Republik Indonesia.