PPP: Putusan MK tidak Membatalkan Ketentuan Presidential Threshold
Politikus PPP itu mengatakan putusan MK sama sekali tidak membatalkan ketentuan presidential threshold.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Pansus UU Pemilu Achmad Baidowi menegaskan perdebatan mengenai presidential threshold sebenarnya sudah sangat mendalam.
Perdebatan dimulai di Pansus UU Pemilu hingga akhirnya harus diputuskan di paripurna 20 Juli 2017.
Baidowi mengatakan pihak yang belum menerima keputusan tersebut dapat menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Maka keputusan MK yang akan diikuti.
"Ibarat sebuah permainan, maka di pansus lah tempat pertandingan bagi para politisi yang punya wakil di DPR untuk membahas persoalan ini. Kami hanya mengingatkan bahwa ketentuan 20-25 persen itu sudah diberlakukan sejak 2009," kata Baidowi melalui pesan singkat, Senin (31/7/2017).
Politikus PPP itu mengatakan putusan MK sama sekali tidak membatalkan ketentuan presidential threshold. MK juga tidak melarang hasil Pemilu 2014 dipakai dua kali.
Baca: PKB Usung Cak Imin Dampingi Jokowi di Pilpres 2019
"Mengapa hal yang sudah terang tersebut dianggap lelucon? Makanya kami tanya juga konsistensi dalam berpolitik," kata Anggota Komisi II DPR itu.
Baidowi mengingatkan pertimbangan hukum MK menyebut bahwa terkait presidential threshold merupakan kewenangan pembentuk UU karena sifatnya Open legal policy.
Sehingga, tidak ada kengototan apapun dari PPP terkait ketentuan PT. Hal ini karena semuanya sudah dibahas mendalam di pansus.
"Saya yakin anggota pansus yang rajin hadir dalam rapat-rapat mengetahui hal ini. Mengibaratkan tiket el clasico yang sudah dipakai apakah bisa dipakai lagi, sepanjang ketentuan membolehkan ya tidak ada masalah. Bukankah tidak ada klausul yang melarang hasil pemilu 2014 dipakai kembali di Pemilu 2019? Jadi membandingkan sesuatu tetap berpijak pada ketentuan," kata Baidowi.
Selain itu, kata Baidowi, ibarat sebuah permainan, sebaiknya para politisi berperan lah sebagai pemain bukan sebagai pengamat apalagi mengamati dan mengomentari parpol lain. Soal internal parpol biarlah itu menjadi ranah masing-masing parpol.
"Dalam UU Parpol jelas diatur setiap parpol memiliki kewenangan yang otonom dan tidak perlu campur tangan parpol lain. Maka kalau ada politisi yang mencampuri urusan parpol lain bukan saja gagal paham tapi juga paham yang gagal," kata Baidowi.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.