Jokowi Diminta Tak Lantik Kepala Daerah Terpilih Jika Terlibat Kejahatan SARA Lewat Saracen
Koordinator TPDI Petrus Selestinus melihat modus operandi kejahatan sindikat Saracen mulai terungkap.
Editor: Ferdinand Waskita
![Jokowi Diminta Tak Lantik Kepala Daerah Terpilih Jika Terlibat Kejahatan SARA Lewat Saracen](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/polisi-ungkap-kelompok-saracen-2_20170825_092900.jpg)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator TPDI Petrus Selestinus melihat modus operandi kejahatan sindikat Saracen mulai terungkap. Ia juga menilai pengguna jasa Saracen dalam Pilkada terkuak.
"Sebagaimana Polri telah mengkonstatasi indikasi sindikat Saracen mengunggah konten bermuatan SARA selama Pilkada. Kelompok Saracen harus mendapatkan perhatian yang serius dan perlu diambil tindakan tegas, termasuk menunda atau tidak melantik Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih siapapun dia dan di daerah pemilihan manapun," kata Petrus dalam keterangan tertulis, Minggu (27/8/2017).
Menurut Petrus, sindikat Saracen termasuk kejahatan SARA yang serius dan sistemik. Dengan menggunakan modus operandi penyebarannya melalui Saracen sebagai penyebar berita hoax yang menyebarkan berita yang tergolong ujaran kebencian" atau SARA selama Pilkada dimanapun.
Baca: Cerita Penjual Hewan Kurban, Kambing Ini Ingat Jalan Pulang ke Kandang
"Maraknya Kejahatan SARA secara masif selama Pilkada, termasuk Pilkada DKI Jakarta, patut diduga Kelompok Saracen berada dibalik penggunaan teknologi informasi penyebar berita hoax ujaran Kebencian/SARA," kata Petrus.
Menurut Petrus, hal itu direncanakan secara sistematis berawal dari usul inisatif revisi UU Pilkada yang hasilnya justru memperlemah penindakan pelaku kejahatan SARA. Lalu, rendahnya ancaman pidana terhadap kejahatan SARA di dalam UU Pilkada No. 10 Tahun 2016.
Petrus menuturkan kejahatan SARA dalam Pilkada menurut UU No.10 Tahun 2016 ancaman pidananya hanya paling rendah 3 bulan dan paling tinggi 18 bulan. Padahal ancaman pidana kejahatan SARA di dalam UU No. 40 Tahun 2008, Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis adalah maksimum 6 (enam) tahun penjara.
"Diskriminasi dalam Penegakan Hukum dalam event Pilkada yang terjadi, karena telah mendapat tempat di dalam rumusan pasal-pasal dalam UU Pilkada No. 10 Tahun 2016. Ini bukan sebuah kebetulan atau sekedar kekhilafan DPR dan Pemerintah, akan tetapi ini sebuah "grand design" kekuatan besar yang ingin menguasai dan berkuasa dalam pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur/Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota di daerah pemilihan yang strategis (politik, ekonomi dan budaya)," kata Petrus.
Baca: Tembak Mati Bandar Narkoba, Polisi Temukan Sabu dan Uang Rp20 Juta di Jok Motor
Hal itu, kata Petrus, dikendalikan melalui sejumlah partai politik di DPR sehingga membuahkan produk hukum yang diskriminatif, yang bertujuan untuk memperlemah penegakan hukum melalui kejahatan SARA dalam Pilkada.
Terdapat celah yang bersifat membuka ruang untuk masuknya kejahatan SARA dalam Pilkada guna memenangkan pasangan calon di daerah Pilkada tertentu.
"Karena itu kalau saja dalam penyidikan kasus ujaran kebencian yang diduga dilakukan oleh Kelompok Saracen terdapat keterlibatan oknum-oknum Partai Politik, Tim Sukses Pasangan Calon bahkan Pasangan Calon itu sendiri dalam Pikada, maka baik Presiden ataupun Menteri Dalam Negeri diminta untuk tidak melantik Pasangan Calon Gubernur-Wakil Gubernur atau Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota yang bersangkutan," ujar Petrus.
Sebab, Petrus mengingatkan memenangkan Pilkada melalui kejahatan SARA yang secara tegas dilarang dan diancam dengan pidana penjara oleh UU. Namun selama Pilkada termasuk Pilkada DKI Jakarta tidak seorangpun dipenjara karena kampanye yang kontennya SARA.