KPK: Belum Ada Indikasi Suap Wali Kota Tegal karena Perintah Partai
"Kami belum menemukan adanya perintah dari partai. Kalau seperti itu biasanya kreatifikasi di lapangan. Kan mau Pilkada, perlu modal."
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Choirul Arifin
LAPORAN WARTAWAN TRIBUNNEWS.COM, THERESIA FELISIANI
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Uang suap Rp 5,1 miliar sepanjang Januari-Agustus 2017 ternyata digunakan Wali Kota Tegal, Siti Mashita Soeparno dan Amir Mirza Hutagalung untuk membiayai pemenangan keduanya di Pilkada 2018 Kota Tegal, periode 2019-2024.
Termasuk pula uang senilai Rp 300 juta yang ditemukan saat OTT pada Selasa (29/8/2017) disita dari posko pemenang kedua tersangka di, Perum Citra Bahari. Uang itu merupakan bagian dari Rp 1,6 miliar yang diindikasikan diterima dari suap dana jasa pelayanan.
Ditambah dari fee proyek di lingkungan Pemerintah Kota Tegal, dan setoran bulanan dari Kepala Dinas selama Januari-Agustus 2017 sekitar Rp 3,5 miliar. Sehingga total seluruhnya Rp 5,1 miliar.
Saat dikonfirmasi ke Ketua KPK, Agus Rahardjo soal apakah pengumpulan uang tersebut atas perintah partai yang menaungi keduanya? Agus menjawab indikasi itu belum ditemukan.
"Kami belum menemukan adanya perintah dari partai. Kalau seperti itu biasanya kreatifikasi di lapangan. Kan mau Pilkada, perlu modal. Dalam aturan pemilu berikutnya ini perlu perhatian serius," ucap Agus, Kamis (31/8/2017).
Baca: Oknum Kementerian Desa PDTT Bikin Istilah Khusus Buku untuk Sebut Uang Sogokan
Lebih lanjut, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan meminta para kepala daerah khususnya calon petahana yang akan maju Pilkada untuk berhati-hati tidak melakukan praktek korupsi karena dipastikan akan berhadapan dengan KPK.
"KPK imbau praktek korupsi terutama terkait dengan pembiayaan Pilkada dihentikan. Calon petahanan yang akan maju agar lebih hati-hati dalam menerima dana untuk pembiayaan kampanye," terang Basaria Panjaitan.
Baca: Metode Pengobatan Kanker Minim Risiko dari St Stamford Modern Cancer Hospital Guangzhou
Basaria Panjaitan menambahkan, calon petahana masih berstatus sebagai penyelenggara negara sehingga segala penerimaan yang berhubungan dengan jabatan dapat dikategorikan sebagai suap dan gratifikasi sesuai UU Tipikor, kecuali tunduk pada aturan khusus yang berlaku tentang dana kampanye.