Komitmen Fee PDAM Bandarmasih Diduga juga Mengalir ke Pihak Lain
Komisioner KPK, Alexander Marwata menjelaskan komitmen fee juga diduga mengalir ke beberapa pihak lain.
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Utama PDAM Bandarmasih, Banjarmasin, Muslih alias M ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Muslih diduga telah memberikan komitmen fee senilai Rp 150 juta kepada tersangka lainnya yaitu, Ketua DPRD Banjarmasin, Iwan Rusmadi (IRS) dan Wakil Ketua DPRD Banjarmasin yang juga sebagai ketua Pansus Raperda Penyertaan Modal Kota Banjarmasin, Andi Effendi (AE).
Tersangka M diduga telah meminta kepada anggota legislatif daerah tersebut untuk segera mengesahkan raperda yang baru saja disahkan sebelum dirinya bersama dengan IRS ditangkap oleh KPK.
Komisioner KPK, Alexander Marwata menjelaskan komitmen fee juga diduga mengalir ke beberapa pihak lain. Pasalnya, dalam pengesahan Raperda, banyak pihak yang terlibat.
"Kami masih mendalami hal ini. Karena, kami masih memiliki dugaan dari M ini juga mengalir ke beberapa pihak lain," kata Alexander di Kantor KPK, Jakarta, Jumat (15/9/2017).
Alexander menguraikan, pada 11 September 2017, M meminta kepada pihak PT CSP sebagai rekanan PDAM untuk menyediakan dana sebesar Rp 150 juta dan agar menyerahkan uang tersebut kepada T sebagai manajer keuangan PDAM.
Kemudian, pada hari selanjutnya, T menyimpan uang itu di brankas di kantor PDAM.
Baca: Habib Rizieq akan Pulang ke Indonesia Asalkan Kasus yang Menyeret Namanya Dihentikan
Pada 14 September, M memerintahkan kepada T untuk mengambil uang sebanyak Rp 100 juta dari brankas dan meminta uang Rp 5 juta untuk diberikan dahulu kepada IRS atas pengembalian pinjaman uang sebelumnya.
Saat penangkapan terjadi pada pukul 18.50 Wita, tim KPK, kata Alexander, mengamankan uang sebesar Rp 30,8 juta yang masih tersimpan di dalam brankas, serta membawa serta M ke Mapolda Kalimantan Selatan.
"Berturut-turut tim bergerak ke rumah anggota DPRD Banjarmasin AR dan AE. Terakhir tim bergerak ke rumah IRS untuk dibawa ke Kantor Polda," jelasnya.
Dari penangkapan itu, KPK kemudian mengamankan uang sebesar Rp 48 juta yang diduga merupakan bagian dari komitmen fee sebesar Rp 150 juta dari pihak rekanan dan sudah dibagi-bagikan kepada anggota DPRD lainnya.
Atas hal itu, KPK menetapkan empat orang tersangka, yakni Dirut PDAM Muslih alias M, Manajer Keuangan PDAM Trensis alias T, Ketua DPRD Iwan Rusmadi alias IRS dan Wakil Ketua DPRD Andi Effendi alias AE.
Untuk M dan T sebagai pihak yang diduga memberi, KPK menyangkakan pasal 5 ayat 1 huruf a atau b UU No 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara untuk IRS dan AE sebagai pihak penerima, KPK menyangkakan pasal 12 huruf a atau b UU No 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
"Kami prihatin atas kejadian ini. Apalagi, mereka wakil rakyat yang dipilih oleh masyarakat selama lima tahun sekali, tetapi masih berperilaku seperti ini. Ini kan sangat disayangkan dan kasihan rakyat yang sudah memilih," ucap Marwata.
Bantah 'Kejar Target'
KPK dalam kurun waktu satu minggu terakhir setidaknya sudah melakukan dua kali operasi tangkap tangan.
Pertama, OTT kepada Bupati Batubara OK Arya Zulkarnaen dan empat orang lainnya, pada Rabu (13/9/2017) kemarin.
Saat ini KPK juga menahan Ketua DPRD Kota Banjarmasin, Iwan Rusmadi dan tiga orang lainnya yang terjaring operarasi tangkap tangan.
Belum lagi pada minggu sebelumnya, KPK juga menahan Hakim Anggota PN Bengkulu Dewi Suryani yang diduga mendapatkan komitmen fee dari terpidana kasus pidana korupsi pengelolaan anggaran rutin dan kegiatan fiktif di BPKAD dan merugikan negara sebesar RP 590 juta, Wilson.
Komisioner KPK, Alexander Marwata mengatakan seluruh operasi tangkap tangan, merupakan hasil dari laporan masyarakat yang masuk ke KPK dan diverifikasi serta ditindaklanjuti oleh tim penyidik KPK.
Bukan semata untuk mengejar sebuah target tertentu untuk kepentingan KPK.
Begitu juga dengan adanya anggapan KPK hanya menahan pihak-pihak yang diduga terlibat kasus korupsi di daerah, bukan di pusat.
"Tidak ada 'kejar target'. Ini semua murni dari laporan masyarakat. Kami tidak pernah menargetkan seseorang atau menargetkan jumlah uang yang ditahan," jelas dia.
Mantan hakim pengadilan Jakarta Pusat itu, juga menjelaskan tidak ada kaitannya, seringnya KPK melakukan operasi tangkap tangan, karena untuk memerlihatkan kinerja KPK kepada pansus angket yang masih berjalan hingga hari ini.
"Kerja kami tidak ada urusannya dengan angket. Biarkan mereka bekerja, kami juga bekerja. Tidak ada hubungannya," tegas dia.
Sebaliknya, KPK menginginkan kepada seluruh pihak, terutama penyelenggara negara untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi dengan cara dan modus apapun sehingga, KPK tidak perlu lagi menjalankan operasi tangkap tangan baik di pusat maupun daerah.
"Kami justru berharap, tidak sering-sering kami melakukan OTT. Kalau tahun kemarin itu sampai 17 kali OTT, kalau bisa tahun ini berkurang. Semakin kurang, berarti semakin bagus kan," kata Marwata. (rio)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.