Kisah Tentang Aidit, Lelaki Asal Belitung yang Mengguncang Sejarah Dunia
Pada masa orde baru, setiap bulan September, tepatnya tanggal 30, diputar film Pengkhianatan G30S sebagai bagian dari proyek politik semacam itu.
Editor: Hendra Gunawan
Kata Njoto, ”Jika memang begitu, Bung akan saya dukung.” Namun sejak itu, kisah Amarzan, ”Aidit kalau melihat saya lantas buang muka.”
Bahwa Aidit, seorang pemimpin partai, menulis sajak, memang tradisi yang tampaknya berlaku bagi pemimpin-pemimpin partai komunis.
Mao Zedong menulis sajak. Demikian pula Leonid Brezhnev. Sastra pun selalu mendapat perhatian besar dalam sudut pandang ideologi komunisme.
Dalam naskah pidatonya yang beredar kembali belakangan ini, Seni dan Sastra, berulang-ulang ditekankan betapa sastra harus mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bukan kepentingan masyarakat feodal.
Jelas yang diserangnya adalah seni ”adiluhung” yang canggih, dan perlu ”kapital budaya” tertentu untuk Namun, benarkah menulis sajak untuk rakyat, lantas tidak memerlukan bakat?
”Meskipun sajak-sajak Lekra adalah sajak poster, seperti yang ditulis Aidit itu, tetapi penyair seperti Agam Wispi atau Bandaharo berhasil menuliskannya secara lain,” kata Amarzan. Agaknya, bukan semangat kerakyatan, melainkan bakatlah masalah Aidit, karena dalam hal semangat, Amarzan punya cerita lain.
Ketika Aidit jadi menteri, dan mendapat fasilitas mobil, pengawal, dan lain-lain, datanglah putri pertamanya, Iba, dari Moskwa, yang masih berusia belasan tahun.
Disebutkan bahwa putrinya yang lebih banyak tinggal di luar negeri itu ingin jalan-jalan keliling Jakarta menggunakan mobil tersebut.
Namun Aidit kemudian berkata kepada putrinya, ”Kamu mau menggunakan mobil yang dibiayai oleh negara dari uang rakyat ini untuk keliling Jakarta? Kamu boleh keliling Jakarta dan kuberi pengawal pribadi, tapi naik bus.”
”Mereka pun naik bus PPD,” kenang Amarzan, ”Itu saya tahu. Besoknya, ketika Iba ingin pergi ke Gedung Pemuda di Menteng untuk bertemu dengan teman-temannya, fasilitas yang diberikan ayahnya hanyalah sepeda.”
Dipa dan Nusantara
Dua saudara Aidit, Sobron dan Murad, masing-masing menulis buku tentang Aidit, dan beredar bebas setelah reformasi. Sobron menulis Aidit: Abang, Sahabat dan Guru di Masa Pergolakan (2003), sedangkan Murad menulis Aidit Sang Legenda (2005).
Dari cerita Sobron, kita dapat mengetahui bahwa revolusi pertama Aidit adalah mengganti namanya sendiri, dari Achmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit. Dalam buku Sobron, disebutkan bahwa pada usia 17 tahun, Aidit meminta kepada ayahnya agar diizinkan mengganti nama, ”Dan ayah setuju, lalu disahkan di Notaris di Batavia ketika itu.”
Namun dalam buku Murad, kisahnya lebih panjang: