Kisah Tentang Aidit, Lelaki Asal Belitung yang Mengguncang Sejarah Dunia
Pada masa orde baru, setiap bulan September, tepatnya tanggal 30, diputar film Pengkhianatan G30S sebagai bagian dari proyek politik semacam itu.
Editor: Hendra Gunawan
”Di zaman pendudukan Jepang, hubungan antara kami di Jakarta dengan keluarga di Belitung putus sama sekali. Kiriman Ayah untuk membayar kos pun tak dapat diharapkan lagi.
Pada waktu itu Bang Amat atau Achmad Aidit sudah mengganti namanya menjadi Dipo (sic!) Nusantara Aidit.
Penggantian nama pada masa itu tidak dapat dilakukan sesederhana sekarang. Jika ketahuan seseorang telah mengganti namanya dianggap sebagai tindak kejahatan berisiko berat.
”Sebelum Jepang datang, surat-menyurat antara Ayah dengan Bang Amat perihal perubahan nama ini cukup ramai. Masalahnya nama Bang Amat tercatat dalam daftar gaji Ayah sebagai Achmad. Apabila ke tahuan tak ada lagi yang bernama Achmad maka ini akan ditindak sebagai kejahatan yang cukup merepotkan.
”Akhirnya diputuskan nama Dipo Nusantara Aidit atau D.N. Aidit itu baru digunakan jika telah memperoleh pengesahan dari Burgerlijke Stand (Catatan Sipil). Bang Amat sudah merasakan bahwa lapangan politik yang dipilihnya mengandung risiko tinggi, baik bagi dirinya maupun keluarga. Itu sebab dia bersikeras mengubah namanya dari Achmad menjadi D.N. Aidit, untuk sedikit melindungi keluarga.”
Lantas, mengapa Dipa dan mengapa Nusantara? Dalam kajian ”Aidit dan Partai Pada Tahun 1950”, yang terlampir dalam buku Sobron, Jacques Leclerc mengungkap hasil penelitiannya:
”Di Tanjung Pandan, Achmad bersekolah HIS (Hollands Inlandsche School). Kemudian, antara tahun 1936-38, atas permintaannya sendiri kepada ayahnya, dia diantar pamannya ke Jakarta. Di Jakarta, sesudah tamat HIS, dia belajar di Sekolah Dagang Menengah (Handels School). Di sinilah dia terjun dalam pergerakan pemuda hingga memperoleh kesempatan berhubungan dengan Barisan Pemuda Gerindo yang dipimpin Wikana, Ismail Widjaja, A.M. Hanafi dan lain-lain, dan dengan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia yang diketuai Chaerul Saleh. Waktu itu, dia meminta ayahnya untuk menyetujui pengubahan namanya menjadi Dipa Nusantara, dengan tetap mencantumkan nama ayahnya.
”Permintaan itu dikabulkan. Nama Dipa Nusantara itu untuk menghormati perjuangan pahlawan Diponegoro dan agar memberi inspirasi kepada Aidit dalam usahanya membebaskan Negara Nusantara. Cara mengubah nama atau memilih gelar yang mengandung arti politik sudah agak biasa di kalangan pemuda nasionalis (misalnya A.M. Hanafi diberi gelar Anak Marhaen).”
Jadi, penggantian nama sudah biasa bagi para aktivis revolusioner, tetapi justru karena itu keseriusan Aidit meminta izin ayahnya sama sekali tidak biasa.
Artinya luar biasa, karena menunjukkan perilaku santun, yang tidak terbayangkan jika segenap demonisasi terhadap Aidit wajib dipercaya.
Bagaimana sebenarnya pribadi Aidit itu?
Khatam dan ikan
Sobron memang menyebut kakaknya Bang Amat, seperti enam adik lain – dari dua ibu – menyebutnya. Nama Aidit datang dari ayahnya, Abdullah Aidit, seorang aktivis Masyumi. ”Orangtua saya tinggal selalu di pinggir hutan, sebab kerjanya sebagai mantri-hutan, atau mantri-kayu. Sebenarnya dengan ukuran sekarang tidak jauh, 7 km jaraknya dari Tanjung Pandan. Nama desanya Air Raya,” tulis Sobron.
Toh, dulu jarak seperti itu terasa jauh, mungkin karena semua orang berjalan kaki. Maka Amat muda pun tinggal di rumah pamannya, Busu Rachman, yang ternyata guru mengaji, ”Kami seluruh bersaudara tamat mengaji, khatam. Termasuk Bang Amat.” Sobron berkisah panjang lebar, bahwa di Belitung waktu itu, pada saat anak siapa pun tamat membaca al-Quran, akan diperlakukan seperti raja dalam suatu perayaan tradisional yang meriah. Termasuk ketika Amat muda itu juga khatam al-Quran. Dalam kenangan Murad, ”Bang Amat sering diminta untuk mengumandangkan azan, karena suaranya dianggap keras dan lafadsnya jelas.”