Ketika Korban Bom dan Mantan Teroris Sama-sama Hijrah
Ia dan istrinya terpental dari motor. Iwan kehilangan bola mata sebelah kanan karena saraf matanya terbakar.
Penulis: Hasanudin Aco
"Takshow Rosi, 21 September 2017 Pukul 19.30 WIB di Kompas TV"
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menjadi korban bom, bukan hanya meninggalkan luka cacat di tubuh.
Tapi juga rasa hancur, putusa asa, marah, dan dendam. Mengapa kebiadaban itu terjadi pada mereka?
Mengapa para teroris itu tega menghilangkan nyawa orang-orang yang mereka sayangi?
Iwan Setyawan tak pernah menyangka nasibnya berubah hari itu, 9 September 2004. Ketika hendak mengantar istrinya periksa kehamilan di usia 8 bulan, sebuah bom meledak di depan Kedutaan Besar Australia yang terletak di daerah Kuningan, Jakarta Selatan.
Ia dan istrinya terpental dari motor. Iwan kehilangan bola mata sebelah kanan karena saraf matanya terbakar.
Sementara istrinya mengalami luka serius di sekujur tubuhnya. Anaknya yang di dalam kandungan, berhasil dilahirkan selamat hari itu juga.
Pada 5 Agustus 2003, ledakan bom terjadi Hotel JW Marriot. Tercatat 14 orang tewas dan ratusan orang luka-luka. Didik Haryono adalah salah seorang korban paling parah dari kejadian itu.
Luka bakar di tubuhnya mencapai 70 persen dan harus dirawat hampir satu tahun dengan puluhan kali operasi.
Sementara Tumini tak menyangka Paddys Cafe, di Legian Bali, tempatnya bekerja mencari nafkah menjadi sasaran aksi teroris pada 12 Oktober 2002.
Lebih dari 200 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka akibat kejadian itu.
Tumini mengalami luka bakar di sekujur tubuhnya. Di kepalanya dan di payudaranya, masih tertinggal serpihan besi akibat ledakan.
Iwan Setyawan, Didik Haryono, dan Tumini hadir di Talkshow Rosi Hijrah untuk Perdamaian. Selain mereka, ada juga Tita Apriantini korban Bom Bom JW Marriot yang harus merasakan operasi tanpa dibius.
Ia mengalami luka bakar dahsyat dan kepalanya sempat botak. Hadir juga Sudirman, salah seorang satpam Kedutaan Besar Australia yang ikut jadi Korban Bom Kuningan, dan Hayati Eka Laksmi yang suaminya menjadi korban Bom Bali ketika sedang melintas di depan cafe.
Malam itu di Talkshow Rosi mereka dipertemukan dengan Ali Fauzi, adik kandung Ali Imron dan Amrozi, pelaku bom Bali.
Mereka juga bertemu Kurnia Widodo, mantan narapidana teroris yang pernah dipenjara selama 6 tahun karena merakit bom untuk kelompok teroris.
Ali Fauzi dan Kurnia Widodo pernah terlibat dalam jaringan teroris.
Pertemuannya dengan para korban bom, adalah salah satu titik balik kehidupan mereka. Bersama sejumlah mantan teroris, Ali Fauzi kini bahkan membangun lembaga dan tempat pendidikan sekolah yang menyebarkan nilai-nilai perdamaian dan jauh dari kekerasan.
Hijrah menuju Perdamaian
“Pertama kali bertemu, rasanya mau saya cekek orang ini,” kata Tumini, menunjuk Ali Fauzi adik Ali Imron dan Amrozi pelaku Bom Bali. “Saya mau jadikan dia seperti korban-korban yang tak berdosa itu,”
Nada bicara Tumini malam itu tak lagi penuh amarah. Malah, dia menyampaikannya sambil setengah tertawa. Ya, Tumini sudah tak lagi menyimpan dendam. Ia dan korban-korban bom lain yang hadir di Talkshow Rosi, sudah mengampuni para pelaku teror.
Meski tak mudah, mereka sudah hijrah. Dari jiwa yang menyimpan amarah, menjadi jiwa yang pemaaf.
Tak mudah bagi para korban teror berhijrah dari rasa marah dan dendam. Butuh bertahun-tahun.
Aliansi Indonesia Damai (AIDA) adalah salah salah satu lembaga yang sebelumnya pernah mempertemukan mereka, para korban bom dengan mantan pelaku teror. Mereka kini membentuk Tim Perdamaian yang mengkampanyekan bahaya ajaran terorisme ke sekolah-sekolah, kampus-kampus, hingga lembaga pemasyarakatan.
Kurnia Widodo, mengakui pertemuan dengan para korban bom adalah salah satu yang mengubah pandangannya tentang aksi-aksi terorisme. “Penderitaan dan pemaafan mereka....... “
Oleh: Budhi Kurniawan, Produser Program Rosi
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.