Setara Institute: Manuver Panglima TNI Sudah Berlebihan, Presiden Harus Lakukan Evaluasi
Ketua Setara Institute, Hendardi meminta kepada presiden sebagai panglima tertinggi untuk segera melakukan evaluasi kepada Panglima TNI.
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Setara Institute, Hendardi meminta kepada presiden sebagai panglima tertinggi untuk segera melakukan evaluasi kepada Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo.
Bukan tanpa alasan, kata dia, belakangan, Gatot sangat terlihat melakukan manuver-manuver politik di tengah situasi dan kondisi bangsa.
Baca: Hendardi: Tujuan Aksi Massa yang Dilakukan Terus Menerus Itu untuk Lemahkan Jokowi
"Lihat saja, beberapa bulan belakangan sudah banyak yang dia lakukan memanfaatkan kondisi dan situasi. Presiden harus ambil sikap untuk segera evaluasi," jelas Hendardi saat dihubungi, Jakarta, Senin (25/9)
Jika nantinya dari hasil evaluasi yang dilakukan oleh presiden, menyatakan harus mencabut Gatot dari posisi Panglima, hal itu harus dilakukan.
Manuver Gatot dirasa akan membahayakan bagi negara karena beberapa kali, manuver Gatot dinilai sudah menyalahi aturan UU TNI dan UU Intelejen.
Dia menjabarkan, setidaknya, Gatot sudah memanfaatkan situasi dengan isu PKI pada dua minggu ke belakang. Seperti, mengadakan nonton bareng film G/30S bersama prajurit dan masyarakat. Serta beberapa kali melakukan perang pernyataan dengan Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu.
"Terbaru itu kemarin kan mengatakan yang tidak seharusnya dikatakan. Memberi informasi intelejen kepada publik. Ini jelas sudah menyalahi aturan UU TNI," kata dia.
Terlebih, informasi tersebut, dikatakan oleh Gatot, berasal dari intelejen dengan status A1 atau berdasar pada sumber yang sangat dipercaya.
"Terlepas dari apa yang dibicarakan, Panglima sudah membeberkan informasi yang katanya A1 kepada publik saja sudah tidak etis," lanjut Hendardi.
Meski Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto sudah menjelaskan adanya miskomunikasi antar institusi, Hendardi mengatakan tidak seharusnya hal itu terjadi.
"Informasi A1 ini justru akan jadi pertanyaan dan kenapa harus dibicarakan di depan publik? Kalau itu off the record kepada media, kenapa juga harus bicara di pertemuan silaturahmi sebesar itu?" tegas Hendardi.
Paham Etika
Wakil Ketua Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan, TB Hasanuddin mengkritik pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang menyebut ada institusi non-militer akan mendatangkan 5000 pucuk senjata.
Menurut TB Hasanuddin, peryataan Gatot hanya membuat situasi semakin riuh terlebih penyampaian tersebut dinilai tidak pada tempatnya.
"Melempar informasi yang notabene itu, dinggap informasi yang sensitive saya sebut saja kepada publik itu menurut saya tidak pada tempatnya. Sebaiknya dihindari, dan ternyata benar kemudian menjadi riuh, masyarakat menilai ada apa ini? 5000 pucuk senjata itu sama dengan 5 Batalion Tempur. Ada apa dan mengapa?," kata TB Hasanuddin saat ditemui di Gedung DPR.
Meski TB Hasanuddin menilai peryataan Gatot tidak perlu di polemik lebih lanjut setelah Menkopolhukam, Wiranto membuat peryataan, namun seharunya Panglima mengetahui mekanisme penyampaian informasi yang ada.
Panglima harus melakukan komunikasi keistitusi terkait terlebih dahulu sebelum menyampaikan pesan lalu diteruskan kepada Presiden.
"Pejabat negara itu harus paham betul soal aturan perundang-undangan juga soal prosedur dan termasuk di dalamnya etika. Prosedurnya kalau ada informasi seperti itu, diskusikan saja dengan instansi terkait telfon atau dipanggil," ungkap TB Hasanuddin
"Kalau sulit dicapai lapor kepada Menkopolhukam karena beliau punya kewenangan untuk memanggul dan mengkoordinasikan. Kalau itu juga sulit lapor langsung Presiden. Pasti Presiden akan melakukan upaya," kata dia.
Sudah Sesuai Aturan
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto menjelaskan, pemesanan 500 senjata yang dilakukan BIN sudah sesuai aturan. Yakni, dengan mengajukan izin pemesanan ke Mabes Polri.
"Mengajukan ke polri untuk pengadaan nanti setelah mendapat rekomendasi, rekomen itu diajukan mau beli ke luar negeri atau mau beli ke PT Pindad," ujar Setyo di Mabes Polri, Senin (25/9/2017).
Setyo menerangkan, jika senjata dipesan di luar negeri maka harus membuat surat izin import. Dalam surat itu, dicantumkan negara tujuan yang hendak dipesan senjata. Sedangkan, jika senjata dipesan dari dalam negeri, misal PT Pindad, melalui izin Mabes Polri.
Setelah senjatanya dipesan oleh BIN, maka senjata itu, dikirimkan ke Mabes Polri untuk diidentifikasi.
"Setelah identifikasi, semua selesai dokumentasi, kartu pemegang, kartu senjatanya baru diserahkan ke yang bersangkutan," ujar Setyo.
Menurut Setyo pembelian senjata BIN tidak perly izin ke Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, "Enggak ada," ujarnya.
Polemik pembelian 5.000 pucuk senjata muncul pasca rekaman pernyataan Gatot Nurmantyo saat menggelar acara silaturahmi dengan para purnawirawan jenderal dan perwira aktif di TNI tersebar.
Rekaman suara itu berisi rencana salah satu institusi di Indonesia yang akan mendatangkan 5.000 pucuk senjata dengan mencatut nama Presiden Jokowi.
Setelah pernyataan Panglima TNI itu terlontar, Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM, Wiranto menjelaskan duduk perkaranya.
Wiranto mengonfirmasi bahwa senjata tersebut pesanan BIN. Dia menyebut ada pembelian 500 senjata laras pendek buatan PT Pindad oleh BIN, bukan 5.000 senjata standar TNI.(tribun/rio)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.