Partai Idaman Hanya Berasumtif Rhoma Irama Tidak Bisa Jadi Capres
Oleh karena itu pemohon atau ketua umum Partai Idaman tetap tidak dibatasi haknya untuk diusulkan sebagai calon presiden
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - DPR RI menilai Partai Idaman hanya membuat asumtif belaka yang mengaku dirugikan terkait adanya ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Keterangan yang dimuat dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tentang Pemilihan Umum tidak menghalangi hak konstitusional ketua umum Partai Idaman Rhoma Irama untuk maju dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019.
"Oleh karena itu pemohon atau ketua umum Partai Idaman tetap tidak dibatasi haknya untuk diusulkan sebagai calon presiden apabila diusulkan oleh partai politik atau gabungan partia politik yang memenuhi syarat berdasarkan ketentuan," kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI Lukman Edy saat memberikan keterangan di sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (5/10/2017).
Dalam pemaparannya, Lukman Edy mengungkapkan bahwa aturan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi DPR atau 25persen suara sah nasional dari acuan Pemilu pada ketentuan Pasal 6 a ayat 2 UUD 1945.
Baca: Macet, Presiden Jokowi Jalan Kaki ke Lokasi HUT TNI Sejauh 3 Km
Pasal tersebut memiliki tiga arti. Pertama, yang menjadi peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bukan partai politik atau gabungan parpol melainkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Kedua, partai politik atau gabungan parpol berperan sebagi pengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Ketiga pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden dilakukan sebelum pelaksanan Pemilu Legislatisf serta pemilihan umum presiden dan wapres.
Mahkamah Konstitusi kemudian dalam putusannya pada putusan nomor 14/PUU XI tahun 2013 dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa Pemilu Presien dan Wakil Presiden harus dilaksanakan secara serentak dengen Pemilu Legislatif tahun 2019.
Nah, walau diputuskan secara serentak, Mahkamah tidak menafsirkan apakah ambang batas masih perlu atau tidak. Untuk mengetahui ambang batas tersebut konstitusional atau tidak maka perlu merujuk pandangan Mahkamah pada poin 317 putusan MK Nomor 51, 52, 59 PUU VI tahun 2008.
Baca: Hakim Cepi Iskandar Dilaporkan ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung
Mahkamah sebagai fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mugkin untuk membatalkan undang-undang atau sebagian isinya jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang.
Meskipun isi undang-undang dinilai buruk misalnya ketentuan presisdential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya. Sebab, yang dinilai buruk tidak berarti inkonstitusional kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang 'intolerable'.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.