Try Sutrisno Kenang Soeharto Saat Masa Akhir Orde Baru
Setelahnya, BJ. Habibie yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden, diangkat sumpahnya untuk menggantikan Presiden Soeharto.
Editor: Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA --- Mantan Wakil Presiden RI Try Sutrisno mengakui reformasi merupakan tuntutan jaman.
Bahkan, Presiden ke-2 RI Soeharto juga menyadari hal tersebut.
Saat Presiden Soeharto lengser, Try Sutrisno sudah tidak menjabat Wakil Presiden.
Sebelum Soeharto lengser, Try Sutrisno mengatakan penguasa Orde Baru itu sempat menawarkan ke sejumlah pihak untuk membentuk tim yang akan mengatur jalannya reformasi.
Baca: Basaria Panjaitan: Sudah Diingatkan, Bupati Nganjuk Nekat Banget
Namun tawaran presiden saat itu ditolak mentah-mentah.
"Saya tidak mau diajak bapak (mengawal) reformasi, saya mau pak Harto turun. Saya tidak mau menyebut namanya," ujar Try Sutrisno mengurangi pernyataan sang reformis, pada kuliah umumnya, di Para Syndicate, Jakarta Selatan, Kamis (26/10/2017).
Posisi Soeharto saat itu terdesak.
Selain menghadapi demo mahasiswa di depan istana, dunia internasional juga menekan Soeharto yang saat itu sudah menjabat sebagai Presiden selama 37 tahun.
Soeharto juga mendapat tekanan dari anak buahnya sendiri.
Saat itu 14 menteri yang ia tunjuk, menyatakan pengunduran diri.
"Ada 14 menteri waktu itu, teken (surat) mundur, ini istilah tentara insubordinasi, karena kabinet presidensial, ini menteri dipilih presiden, di berhentikan presiden, tidak bisa berhenti sendiri," ujarnya.
"MPR pun (menekan), Harmoko Cs, mengimbau Pak Harto secara konstitusional turun, Pak Harto orang bijak, kalau dia mau menggunakan "power" nya (red: kekuatannya), bisa saja, tapi ya berdarah-darah, beliau tahu situasi seperti itu," katanya.
Baca: Polisi Akan Periksa Pemilik Pabrik Petasan Setelah Pulang dari Malaysia
Soeharto akhirnya memutuskan untuk mundur.
Pada 21 Mei 1998, ia menyampaikan pidato pengunduran dirinya sebagai Presiden RI.
Setelahnya, BJ. Habibie yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden, diangkat sumpahnya untuk menggantikan Presiden Soeharto.
"Begitu turun, saya ke Cendana, bersama Jendral Edi Sudrajat, pak kenapa bapak memilih cara seperti itu, di negara yang sebesar NKRI ini. Jawabanya sangat filosofis, dan etis, jawabannya itu 'saya sudah tidak dipercaya,'" ujarnya.