Analis Militer Sebut Kasus Papua Harus Tetap Ditangani Polri, Ini Alasannya
Masalah Papua, adalah masalah yang harus diselesaikan dengan sangat hati-hati menurut analis militer Connie Rahakundini Bakrie.
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA --- Masalah Papua, adalah masalah yang harus diselesaikan dengan sangat hati-hati menurut analis militer Connie Rahakundini Bakrie.
Pasalnya masalah tersebut jadi perhatian internasional, dan kesalahan dari pemerintah sangat rentan untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin Papua lepas dari pangkuan ibu pertiwi.
Salah satu yang kerap dijadikan senjata untuk menyerang pemerintah Indonesia, adalah persoalan Hak Asasi Manusia (HAM), dan isu tersebut sangat rawan untuk ditimpakan ke militer.
Baca: Kasus Suap dan Gratifikasi Bupati Rita, KPK Sita Apartemen di Balikpapan
Oleh karena itu menurut Connie Rahakundini Bakrie, yang menjadi garda terdepan menghadapi Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) di Papua, idealnya adalah Polri.
"Saya bilang itu bukan urusan Polisi, tapi untuk meredam PBB, HAM internasional dan sebagainya, percayalah, kalau yang leading (memimpin) tentara, itu akan sensitif," ujarnya kepada wartawan usai menghadiri diskusi di Bakkoel Coffee, Jakarta Pusat, Kamis (23/11/2017).
Separatisme tidak boleh ada di Indonesia, dan separatisme adalah ranahnya TNI untuk menghadapi.
Namun mengingat betapa sensitifnya isu di Papua, dan pada kenyataannya sejumlah pihak di luar negri terus menggoreng isu HAM di Papua, maka harus Indonesia harus mengantisipasi aksi-aksi menjaga Negara Kedaulatan Republik Indonesia (NKRI) di jadikan ajang kamapnye hitam kelompok tertentu.
"Karena yang namanya operasi ketertiban dan penegakan hukum (oleh Polisi), tidak ada yang boleh ikut campur," katanya.
"Jadi yang turun Polri saja, bahkan kemudian suatu hari, besoknya atau malamnya Kapolri telepon Panglima TNI minta bantuan, tetap saja yang maju Polri," terangnya.
Pemerintah tidak bisa melarang kelompok-kelompok di luar negeri untuk menggalang dukungan terhadap separatis Papua. Jika hal tersebut tidak diantisipasi, kasus Papua bisa seperti kasus Aceh, di mana pemerintah harus berdialog dengan separatis dengan mediatornya adalah pihak asing.
"Dan itu tidak boleh lagi terjadi," katanya.