Mengenal Lebih Dekat Budaya Ukir Suku Kamoro
"Tentunya hasil penjualan dari kegiatan pameran juga dapat meningkatkan kesejahteraan para pengukir, sehingga kegiatan budaya ini dapat berkelanjutan,
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sebagai upaya pelestarian budaya, Yayasan Maramowe Weaiku Komorowe binaan PT Freeport Indonesia, menghadirkan pameran seni ukiran Kamoro yang telah berlangsung sejak 24 November 2017 di Alenia Coffee & Kitchen, Kemang, Jakarta Selatan.
Pameran ini juga menghadirkan empat pengukir asli Suku Kamoro, dari Kampung Timika Pantai dan Kampung Pulau Karaka.
Baca: Kiki Tewas Gantung Diri Setelah Cintanya Tak Direstui Sang Ibu, Ada Surat Untuk Ibu dan Kekasihnya
Mereka di antaranya Herman Kiripi (38), Kornelis Kiripi (40), Klemens Nawatipia (43) dan Daniel Matameka (26).
Mereka melakukan demonstrasi langsung mengukir di tempat setiap harinya selama pameran berlangsung.
Kehadiran mereka tidak lepas dari dukungan PT Freeport Indonesia.
Riza Pratama, Vice President Corporate Communication PT Freeport Indonesia, mengatakan Freeport memiliki komitmen kuat untuk membantu kelangsungan pelestarian budaya kerajinan ukir suku Kamoro.
"Tentunya hasil penjualan dari kegiatan pameran juga dapat meningkatkan kesejahteraan para pengukir, sehingga kegiatan budaya ini dapat berkelanjutan," kata Riza Pratama dalam keterangan yang diterima wartawan.
Baca: Krimsus Bekuk Kolektor Timah di Matras Sungailiat
Keuntungan penjualan barang kerajinan ukir dalam pameran tersebut pun kembali kepada para Pengukir.
Luluk Intarti, pendiri dan pembina Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe, mengatakanpameran tersebut bertujuan agar masyarakat luas dapat mengenal lebih dekat dengan seni dan budaya suku Kamoro.
Selain itu, dalam pameran tersebut pengunjung dapat menikmati dan membeli hasil karya seni ukir Papua, khususnya seni ukir khas suku Kamoro.
Hingga saat ini menurut Luluk, kerajinan ukir Papua tinggal tersisa budaya ukir dari tiga suku saja.
Di antaranya suku Asmat yang sudah dikenal banyak orang, suku Kamoro dan suku Sempan.
Ketiga suku itu berasal dari pesisir Selatan Papua, sedangkan di bagian lain Papua, seperti di pesisir Utara Papua, budaya ukir sudah punah sejak menguatnya pengaruh agama.
Baca: Alasan Titiek Soeharto Maju Caketum: Keluarga Pak Harto Prihatin Kondisi Golkar
“Untuk seni ukir Kamoro saja sempat menurun produksinya di bawah tahun 50an. Belum punah, tapi hampir mati. Sehingga kita harus lestarikan agar jangan sampai hilang budaya ini, seperti yang terjadi di pesisir Utara,” ujar Luluk.
Untuk terus menyemangati para pengukir Kamoro dalam berkarya, Yayasan Maramowe membantu melakukan pembinaan terhadap para pengukir agar mereka senantiasa dapat meningkatkan kualitas ukirannya.
Selain itu, membuka akses pasar agar kerajian ukiran ini dapat memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat suku Kamoro.
Luluk beserta tim Yayasan Maramowe kerap turun langsung ke daerah pesisir Selatan Papua untuk mencari ukiran-ukiran terbaik yang dapat dipasarkan.
Program promosi dan pelestarian budaya Kamoro ini diprakarsai Dr Kal Muller, pendahulu Yayasan Maramowe sejak tahun 1996 dengan dukungan Freeport Indonesia.
Perusahaan ini juga ikut mendukung penyelenggaraan Festival budaya Suku Kamoro yang pertama (1997) hingga seterusnya.
Festival ini didatangi para kolektor dan pembeli ukiran kayu mereka yang unik.
Freeport juga aktif mendukung keikutsertaan seniman-seniman Kamoro dalam pameran-pameran yang diselengarakan baik di dalam maupun luar negeri.
Dalam Pameran ini, masyarakat dapat menikmati dan membeli kerajinan ukiran khas suku Kamoro, dan menyaksikan langsung bagaimana proses empat pengukir asli Kamoro mengukir kayu.
Masyarakat juga dapat berinteraksi langsung dengan para pengukir yang senantiasa ramah menjelaskan.
Seorang pengukir, Klemens Nawatipia menuturkan dunia saat ini telah berkembang banyak, jangan sampai anak-anak lupa dengan budaya asli warisan leluhur.
"Saya senang dengan acara ini dan dukungan Freeport hingga kami bisa hadir disini, dan kita tidak lupa akan budaya,” katanya.
Klemens dalam pameran ini banyak mengukir motif khas Kamoro pesisir yaitu, motif Perahu, Udang dan Ikan.
Nuansa Papua yang dihadirkan empunya Alenia Coffee & Kitchen, aktris Nia Zulkarnaen bersama suami Ari Sihasale ini sangat terasa.
Tidak hanya dari dekorasi ruangan, tetapi juga dari hidangan Indonesia Timur yang disajikan, khususnya berbagai jenis kopi asli dari Papua dan hidangan khas Papua lainnya seperti papeda kuah kuning dan jus matoa.
Para penggemar kopi Papua tidak harus jauh pergi ke ujung Timur Indonesia untuk menikmatinya.
Berangkat dari kepeduliannya terhadap Papua, aktris dan aktor yang akrab dengan nama sapaan Ale dan Nia ini menerima ajakan Yayasan Maramowe untuk berkolaborasi menggelar kegiatan pameran dan mengoptimalkan Kedai Kopi mereka sebagai tempat untuk membantu memasarkan dan mempromosikan ukiran hasil karya masyarakat pengukir suku Kamoro.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.