Pengamat Intelijen dan Pertahanan: Tiga Isu Harus Diperhatikan Jokowi dalam Memilih Panglima TNI
Pengamat Intelijen dan Pertahanan, Jaka Setiawan mengaku kecewa dengan pemilihan calon tunggal Panglima TNI yang dilakukan oleh Presiden Jokowi.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Dewi Agustina
Dalam hukum penerbangan internasional, dikenal istilah Rans Charges, yaitu penerbangan pesawat udara yang melewati rute tertentu pada sebuah wilayah negara, berkewajiban membayar penggunaan media udara untuk navigasi udara, sesuai dengan jarak yang ditempuh oleh sebuah pesawat.
"Menurut beberapa sumber, fee yang dibebankan kepada pesawat yang melintas di wilayah kedaulatan Indonesia yang dikuasai FIR Singapura nilai potensi ekonominya cukup fantastis, jumlahnya mencapai 15.288.759 dolar pada tahun 2009," imbuhnya.
Baca: Penangkapan Penghina Rizieq Shihab Disebut Sebagai Aksi Main Hakim Sendiri
Selain ekonomi, jelas Jaka, masalah yang sering luput dari pandangan masyarakat Indonesia adalah kontrol terhadap ruang udara nasional yang kini dikuasai FIR Singapura, sering digunakan untuk latihan militer pasawat tempur Singapura.
Walaupun Defence Cooperation Agreement (DCA) antara Indonesia dengan Singapura sudah dihentikan sepihak oleh Indonesia pada tahun 2003, namun Satuan Radar 213 Tanjung Pinang dan Satuan Radar 212 Natuna sering menangkap pergerakan pesawat asing, khususnya pesawat militer Singapura yang melakukan black flight di wilayah yang dulu dikenal dengan Military Training Area 1 (MTA 1) dan Military Training Area (MTA 2).
Jaka mengingatkan bahwa sejak awal Presiden Jokowi tegas menyebutkan visi poros maritim akan dijalankan selama kepemimpinannya.
Baca: Gunung Agung Masih Berpotensi Erupsi Meski Secara Visual Terlihat Kalem
Visi ini diturunkan dalam kebijakan pemerintah yang tertuang pada Rencana Jangka Pendek dan Menengah Nasional (RJPMN) 2015-2019.
Salah satunya meningkatkan anggaran pertahanan hingga 1,5 persen dari PDB guna membangun TNI sebagai kekuatan maritim regional yang disegani di kawasan Asia Timur.
"Tidak mungkin ini terjadi disaat pengadaan pertahanan di korupsi dan FIR Natuna masih dikuasai Singapura," ujarnya.