Pengamat Intelijen dan Pertahanan: Tiga Isu Harus Diperhatikan Jokowi dalam Memilih Panglima TNI
Pengamat Intelijen dan Pertahanan, Jaka Setiawan mengaku kecewa dengan pemilihan calon tunggal Panglima TNI yang dilakukan oleh Presiden Jokowi.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Intelijen dan Pertahanan, Jaka Setiawan mengaku kecewa dengan pemilihan calon tunggal Panglima TNI yang dilakukan oleh Presiden Jokowi.
Jaka menilai seharusnya Jokowi memilih sosok yang sesuai untuk menghadapi isu-isu yang masih merambat di TNI.
Jika merujuk pada studi tentang manajemen pertahanan, kata Jaka, setidaknya ada 3 isu yang juga harus diperhatikan dalam memilih Panglima TNI.
"Pertama, aspek temporal yang menitikberatkan pada isu perubahan ideologi di level menengah sampai pimpinan TNI yang sudah mulai menerima nilai liberalisme/demokrasi dan yang masih murni Pancasila. Ke depan bisa jadi ada juga yang mulai berkiblat ke sosialisme RRC," ujar Jaka, melalui pesan singkat, Selasa (5/12/2017).
Baca: Jenderal Gatot Diminta Tidak Memutasikan Perwira Tinggi di Akhir Masa Jabatannya
Kedua, isu kultural di grassroot yang belakangan menghangat dan semakin meruncing jika tidak dikelola dengan baik dan objektif berpotensi menyebabkan ancaman keamanan.
Panglima Gatot Nurmantyo, jelas Jaka, lumayan bisa mengelola dinamika ini dengan baik.
Kemudian isu terakhir adalah isu dinamika ancaman. Dalam topik ini, adanya identifikasi dinamika risiko, tantangan, dan ancaman menjadi sebuah keharusan.
"Sengketa Laut Natuna menjadi tantangan tersendiri, karena penguasaan Flight Information Region (FIR) Singapura, wilayah udara Natuna tidak bisa kita kendalikan," kata Jaka.
Menurut Jaka, instruksi Presiden Jokowi sejak pertengahan bulan September 2015 tentang realignment FIR sampai sekarang 2017 belum jelas arahnya.
Baca: Amien Rais Minta Presiden Tak Memecah Belah Bangsa, Ketua Komisi A DPRD DIY: Jangan Bikin Gaduh
Keberadaan FIR Singapura dalam pelaksanaannya telah banyak menimbulkan kendala, baik dari penerbangan sipil Indonesia maupun pelaksanaan operasi dan penegakan hukum di wilayah sekitar Tanjung Pinang dan Natuna.
Ruang udara nasional merupakan salah satu kekayaan ekonomi yang dimiliki oleh Indonesia. Namun pada kenyataannya, keuntungan tersebut harus rela dilepaskan begitu saja.