Sidang Kasus Timah, Ahli Jelaskan Beda Kekayaan BUMN dengan Keuangan Negara
Dian Puji Simatupang menyebut, harta kekayaan yang dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak menjadi bagian dari kekayaan negara
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli hukum keuangan negara, Dian Puji Simatupang menyebut, harta kekayaan yang dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak menjadi bagian dari kekayaan negara.
Sebab ada penyertaan modal pemerintah atau pemisahan kekayaan negara terkait BUMN.
Pemisahan ini dilakukan dalam upaya mitigasi risiko sebagaimana prinsip Pasal 1 Angka 21 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2014.
Hal ini disampaikan Dian saat dihadirkan sebagai saksi ahli a de charge atau ahli meringankan untuk terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah yakni eks Direktur Utama PT Timah Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Helena Lim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (20/11/2024).
“Esensi dasar sebenarnya, Yang Mulia, mengapa tadi disampaikan kita harus melihat dulu apa pengertian dari penyertaan modal pemerintah atau sebagai kekayaan negara yang dipisahkan. Mengapa harus dipisahkan? Karena berlakulah ketentuan prinsip di Pasal 1 angka 21 PP Nomor 27 Tahun 2014,” kata Dian.
Sesuai ketentuan tersebut, saat kekayaan tersebut dipisahkan maka seluruh regulasi dan mitigasi risiko beralih kepada penerima modal.
Ia kemudian mencontohkan, negara tidak mungkin memiliki uang dan saham sekaligus di suatu perusahaan BUMN. Sebab sudah terjadinya pengalihan kepemilikan atas uang.
Berkenaan dengan itu maka keuangan negara dibedakan dengan keuangan BUMN, di mana menteri keuangan yang notabene bendahara keuangan negara, tidak menguasai keuangan BUMN, melainkan hanya menguasai uang negara yang ada di Undang - Undang APBN.
“Maksudnya apa, maksud pemisahan itu agar dia menjadi miliknya orang yang menerima, sehingga seluruh regulasi, mitigasi risiko berpindah kepada mereka semua,” lanjutnya.
Sehingga, selama suatu kegiatan tata niaga timah dilakukan dengan biaya anak usaha BUMN dan tidak ada pengeluaran negara dalam APBN untuk memulihkan kerusakan lingkungan, serta tak adanya kekayaan alam dalam bentuk timah yang dicatat negara, maka kegiatan tata niaga timah dari anak usaha BUMN tidak terdapat kerugian negara yang nyata dan pasti.
Baca juga: Hakim Cecar Eks Petinggi PT Timah Terkait Sosok yang Bekingi hingga Berikan Modal ke Penambang Liar
Lebih lanjut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) kemudian bertanya soal pemulihan kerusakan lingkungan. Dian menyebut hal itu tak bisa dibebankan kepada para terdakwa.
Uang pengganti yang dibayarkan terdakwa tidak bisa digunakan untuk memulihkan lingkungan.
Pasalnya alokasi pemulihan lingkungan hanya bisa dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
“Uang pengganti yang dibayar seluruh terdakwa tidak akan bisa dipakai untuk memulihkan lingkungan, karena alokasi pemulihan lingkungan hanya bisa dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup,” ungkapnya.
Sebagai informasi, berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun.
Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.
Kerugian negara yang dimaksud jaksa, di antaranya meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah.
Tak hanya itu, jaksa juga mengungkapkan, kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun. Hal itu sebagaimana hasil hitungan ahli lingkungan hidup.