Dugaan Korupsi Pembelian Helikopter AW101, KPK Periksa Enam Perwira TNI AU
Kasus dugaan korupsi pembelian helikopter Augusta Westland 101 milik TNI AU terus diusut oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus dugaan korupsi pembelian helikopter Augusta Westland 101 milik TNI AU terus diusut oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selasa (12/12/2017) kemarin, penyidik KPK menjadwalkan pemeriksaan pada enam perwira Angkatan Udara di POM TNI, Cilangkap namun saksi tidak hadir.
Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan alasan enam perwira tidak hadir ialah surat panggilan yang dikirim KPK, belum ada disposisi untuk para saksi hadir sehingga dilakukan penundaan pemeriksaan.
Baca: Rapat Pleno Partai Golkar Berlangsung Tertutup
"Dari koordinasi antara tim penyidik dengan kuasa hukum para saksi dari Diskum TNI AU, menyampaikan surat panggilan yang dikirim KPK belum ada dispo bagi para saksi untuk hadir. Mereka minta pengunduran waktu penghadapan atau pemeriksaan pekan depan, Selasa (19/2/2017)," ungkap Febri, Rabu (13/12/2017) di KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Dalam penangnan kasus ini, Febri menegaskan bahwa pada prinsipnya koordinasi dan komunikasi antara KPK dan POM TNI AU berjalan baik.
POM TNI AU memfasilitasi kebutuhan penyidik terkait pemeriksaan saksi-saksi, baik saksi-saksi terdahulu maupun saksi-saksi baru yang dibutuhkan keterangan oleh KPK.
Saat ini POM TNI AU, lanjut Febri masih menunggu hasil perhitungan kerugian negara yang sedang dihitung oleh BPK untuk tersangka yang ditangani TNI.
"Nantinya perhitungan kerugian negara tersebut juga akan dimanfaatkan KPK untuk penangnan perkara dengan tersangka IKS (Irfan Kurnia saleh), selain KPK masih dibutuhkan pemeriksaan saksi-saksi lainnya dari pihak TNI AU. Karenanya, koordinasi dengan pihak TNI AU akan terus dijalin dalam penangnan perkara ini," tambah Febri.
Diketahui, tersangka di kasus ini, Irfan Kurnia Saleh, bos PT Diratama Jaya Mandiri diduga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam pengadaan helikopter AW-101 di TNI AU tahun anggaran 2016-2017.
Kasus bermula saat April 2016, TNI AU mengadakan satu unit helikopter angkut AW-101 dengan menggunakan metode pemilihan khusus atau proses lelang yang harus diikuti dua perusahaan peserta lelang.
Irfan selaku Presdir PT Diratama Jaya Mandiri dan diduga pengendali PT Karya Cipta Gemilang mengikutsertakan dua perusahaan miliknya tersebut dalam proses lelang.
Padahal sebelum proses lelang berlangsung, Irfan sudah mendatangani kontrak dengan AW sebagai produsen helikopter angkut dengan nilai kontrak US$ 39,3 juta atau sekitar Rp 514 miliar.
Sementara saat ditunjuk sebagai pemenang lelang pada Juli 2016, Irfan mewakili PT Diratama Jaya Mandiri menandatangani kontrak dengan TNI AU senilai Rp 738 miliar. Akibatnya keuangan negara diduga dirugikan sekitar Rp 224 miliar.
Atas perbuatannya, Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Dalam perkara ini, KPK pernah menjadwalkan pemeriksaan terhadap mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU), Marsekal TNI (purn) Agus Supriatna. Namun pemeriksaan ditunda karena Agus tengah menjalankan ibadah. Sekembalinya ke tanah air, Agus mengaku siap diperiksa KPK.