Pengacara Setya Novanto Konfirmasi ke KPK terkait Hilangnya Nama Ganjar, Yasonna dan Olly
Buku Setya Novanto (Setnov), terdakwa kasus megakorupsi proyek e-KTP, terus menyorot hilangnya tiga nama politisi PDI Perjuangan.
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Buku Setya Novanto (Setnov), terdakwa kasus megakorupsi proyek e-KTP, terus menyorot hilangnya tiga nama politisi PDI Perjuangan dalam surat dakwaan.
Persoalan tersebut bakal menjadi materi dalam eksepsi (keberatan atas surat dakwaan) yang diajukan tim penasihat hukum dalam sidang lanjutan Rabu (27/12/2017) pekan depan.
Anggota tim penasihat hukum terdakwa, Firman Wijaya, mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengonfirmasi kepada Setya Novanto mengenai isi dakwaan perkara korupsi e-KTP yang telah dibacakan Jaksa KPK, pada Rabu lalu.
Firman Wijaya mengaku akan mengkonfirmasi terkait hilangnya sejumlah nama seperti Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng), Yasonna Hamonganan Laoly (Menteri Hukum dan HAM), dan Olly Dondokambey (Gubernur Sulut).
Maqdir Ismail, juga penasihat hukum Setya Novanto, menyatakan hal serupa.
Baca: Jasad Made Asa Ditemukan Menempel di Pohon Kelapa
Maqdir mengaku pihaknya sedang menyusun perbandingan fakta dakwaan yang muncul pada tiga terdakwa sebelumnya (Irman, Sugiharto dan Andi Narogong) dengan dakwaan kliennya.
Maqdir menyebut dalam dakwaan Setya Novanto banyak nama-nama yang hilang dan tidak dicantumkan oleh Jaksa KPK.
Padahal, dalam dakwaan sebelumnya, peran sejumlah nama dibeberkan secara rinci.
"Tentu kami akan buat perbandingan fakta dalam surat dakwaan. Kami berusaha menunjukkan fakta yang hilang dan fakta baru, padahal mereka didakwa bersama-sama," terang Maqdir.
Dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto, Olly Dondokambey mendapat aliran dana 1,2 juta dolar AS, Arif Wibowo 108 ribu dolar AS, Ganjar Pranowo 520 ribu dolar AS; serta Yasonna H Laoly mendapat 84 ribu dolar AS.
Baca: Gempa 6,9 SR Sebabkan Dua Warga Meninggal, Ratusan Rumah Rusak
Dalam persidangan, keempatnya kompak membantah telah menerima uang haram dari proyek e-KTP itu.
Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang mengakui pihaknya perlu hati-hati mencantumkan nama-nama yang diduga terlibat pada korupsi e-KTP, termasuk empat nama kader PDI Perjuangan tersebut.
"KPK bekerja atas hukum dan pembuktian. Penyebutan nama memerlukan kehati-hatian," tegas Saut.
Perlu Waktu
Menurut Saut, pihaknya memerlukan waktu untuk mengungkap peran dari ketiga orang tersebut. Penyidik, masih harus mengumpulkan bukti untuk menguatkan semua hal yang menjadi fakta persidangan.
"Perlu kecukupan bukti sehingga dalam beberapa hal ada kalanya memerlukan waktu pula," tegas Saut.
Ia menyatakan KPK berupaya keras membongkar keterlibatan pihak-pihak lain dalam kasus dugaan korupsi yang rugikan uang negara Rp 2,3 triliun tersebut.
Kubu PDI Perjuangan angkat bicara soal sorotan tim penasihat hukum Setya Novanto.
Junimart Girsang, anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, mengatakan penyebutan nama dalam surat dakwaan tidak bisa menjadi acuan mereka bisa diproses hukum.
Baca: BMKG Cabut Peringatan Tsunami Gempa Tasikmalaya
Pasalnya, untuk memproses nama-nama yang disebut dalam dakwaan diperlukan alat bukti.
"Contoh dia sebut nama A, B, C, D, E. Tapi dalam persidangan tidak pernah disebut dan tidak ada bukti. Walaupun disebut namun tak ada bukti, nggak bisa dong," kata Junimart.
Anggota Komisi III DPR yang juga advokat senior itu mengatakan hakim dalam perkara pidana korupsi lebih mengedepankan asas keyakinan.
Untuk itu, apabila hakim tidak yakin seseorang terlibat korupsi, ia tidak akan memutuskan yang bersangkutan bersalah.
Politisi PDI Perjuangan lain, Eddy Kusuma Wijaya, mengatakan munculnya nama para kader PDI Perjuangan sebagai penerima aliran dana korupsi proyek e-KTP, merupakan kebohongan yang diucapkan M Nazarudin.
"Ndak ada itu, bohong bohongannya si Nazarudin saja. Nama orang-orang itu masuk dari mana. Apanya yang dipermasalahkan," ujarnya.
Jaksa Penuntut Umum KPK, Irene Putrie, mengatakan perbedaan materi dakwaan Novanto dan tiga terdakwa sebelumnya merupakan hal yang wajar.
Alasannya, dalam menyusun setiap dakwaan, jaksa akan fokus kepada rangkaian perbuatan yang dilakukan terdakwa.
"Dalam dakwaan splitsing (pemisahan berkas perkara), kami fokus pada perbuatan terhadap terdakwa. Pada dakwaan terhadap Novanto tertentu akan fokus ke Novanto. Pada dakwaan Irman akan difokuskan ke Irman, dan itu biasa," kata Irene. (tribunnetwork/ter)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.