Di Tahun 2017, Fadli Zon Sebut Sekutu Pemerintah Diistimewakan, Lawan Politik Dikriminalisasi
Kesimpulan itu dikemukakannya sebagai Catatan Akhir Tahun 2017 dalam bidang Hukum.
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pelaksana tugas (Plt) Ketua DPR RI, Fadli Zon menilai hukum kini semakin menjadi alat kekuasaan, sehingga akhirnya gagal memenuhi tuntutan keadilan.
Kesimpulan itu dikemukakannya sebagai Catatan Akhir Tahun 2017 dalam bidang Hukum.
Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan ini tercantum jelas pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Ini adalah pasal pertama konstitusi kita. Jadi, penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), disebut di bagian paling awal konstitusi, sesudah konstitusi kita menegaskan soal bentuk negara dan pentingnya kedaulatan rakyat.
Ini menunjukkan desain konstitusi kita tak menghendaki Indonesia menjadi negara kekuasaan. Kehidupan berbangsa dan bernegara harus berdasarkan hukum.
“Sayangnya, sepanjang 2017 saya memperhatikan negara kita justru makin bergerak ke arah negara kekuasaan. Pemerintah telah menjadikan hukum sebagai instrumen kekuasaan, bukan instrumen menegakkan keadilan. Berbagai survei tentang kinerja pemerintahan Jokowi, misalnya, selalu menempatkan hukum, selain ekonomi, sebagai sumber utama ketidakpuasan masyarakat," kata Fadli dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (30/12/2017).
Baca: Kata Kapolri, Polisi yang Berpolitik Wajib Mengundurkan Diri
Fadli menuturkan, akan sangat berbahaya jika hukum dijadikan alat kekuasaan, karena hal ini akan menjatuhkan wibawa hukum di hadapan masyarakat.
Pemerintah seharusnya menyadari jika keadilan hukum merupakan salah satu alat untuk menciptakan stabilitas dan kohesi sosial.
Itu sebabnya pemerintah tak boleh melakukan politisasi hukum. Adanya standar ganda dalam bidang penegakkan hukum bisa mengancam kohesi sosial dan melonggarkan tenun kebangsaan.
“Tapi kita bisa menyaksikan, batas api (fire line) itu telah banyak dilanggar oleh pemerintah sepanjang tahun ini. Di satu sisi, kita melihat dengan jelas adanya pengistimewaan hukum yang luar biasa terhadap para sekutu pemerintah, dan di sisi lain ada upaya kriminalisasi terhadap lawan-lawan politik pemerintah," tuturnya.
“Coba lihat kasus Saudara Basuki Tjahaja Purnama. Mulai dari sejak terdakwa, hingga kini menjadi terpidana, dirinya selalu mendapatkan pengistimewaan hukum. Saat yang bersangkutan masih menjadi terdakwa, misalnya, sebenarnya sesuai ketentuan UU No. 23/2014 Pasal 83, seorang kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa di pengadilan harus diberhentikan sementara, tanpa perlu usulan dari DPRD,” tambahnya.
Menurut Wakili Ketua Umum Partai Gerindra itu, kita sudah menyaksikan bagaimana pemerintah, melalui Mendagri, tak pernah mengeksekusi ketentuan ini.
Mendagri beralasan jika dia perlu mendengar tuntutan jaksa terlebih dulu, apakah nanti tuntutannya lima tahun, atau kurang dari itu. Jika kurang dari lima tahun, maka Saudara Basuki tak perlu diberhentikan sementara.
Padahal, Gubernur Sumut Syamsul Arifin dulu disidangkan perdana tanggal 14 Maret 2011. Pada 21 Maret 2011 Keppres pemberhentian sementaranya sudah diteken Presiden SBY. Begitu juga Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Ia disidang perdana 6 Mei 2014, dan pada 12 Mei 2014 Keppres pemberhentian sementaranya juga segera diterbitkan Presiden SBY.