Fahri Hamzah Ingatkan Jokowi, Jangan Jadikan Utang Tulang Punggung Pembangunan
Karena itu, jangan karena ketidaktahuan atau ketidakmauan memahami persoalan secara mendalam akhirnya dijebak pencitraan.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI Koordinator bidang Kesejahteraan (Koormesra), Fahri Hamzah menyebut bahwa anak-anak muda Indonesia, khususnya millenials layak memiliki masa depan yang lebih baik.
Karena itu, jangan karena ketidaktahuan atau ketidakmauan memahami persoalan secara mendalam akhirnya dijebak pencitraan.
“Ingat, masa depan ini keras dan kejam, dimana kita semua bisa menjadi korban,” tegas Fahri yang disampaikannya lewat akun Twitter @Fahrihamzah, Selasa (2/1/2018) kemarin.
Dia menambahkan, millenials Indonesia merupakan pertanda adanya bonus demografi.
Baca: Utang Luar Negeri Indonesia Naik 4,8 Persen
Apalagi dalam politik, lanjut Fahri, bonus demografi akan dirasakan betul saat pemilu 2019 ini, dimana lebih dari 60 persen adalah pemilih muda, baik yang pemula maupun yang ada dalam jarak usia muda.
"Saya termasuk pengkritik kelompok milenial yang menurut saya agak dangkal. Maafkan, saya lakukan itu untuk mengingatkan agar suara mereka betul-betul dipertaruhkan untuk perubahan nasib mereka yang sesungguhnya," ucap politisi dari PKS itu.
Kepada millenials Indonesia, Fahri menyampaikan bahwa bidang ekonomi, bidang yang akan memberi makan dan kebutuhan dasar, menyalurkan kita bekerja dan berekspresi secara merdeka tanpa mengandalkan negara.
Namun masalahnya adalah, apakah negara sudah menuju track yang benar pada pemantapan ekonomi yang berkesinambung yang melibatkan generasi baru dalam ekonomi ini?
Atau malah sebaliknya, negara sedang menggali kubur bagi generasi baru ini?
“Seperti akhir tahun kemarin, ada banyak pujian yang datang secara sepihak. Seorang pejabat negara mengirimkan saya sebuah guntingan koran jepan yang terkenal: NIKKEI Shimbun yang katanya (saya nggak bisa baca) memuji-muji Indonesia. (Berikut korannya). Sambil membaca artikel itu, saya mau sampaikan bagaimana cara kita hari ini mempersiapkan pondasi ekonomi yang kokoh bagi mereka dimasa depan, apakah akan jadi bangsa pemenang sejajar dengan bangsa besar lainnya, atau hanya jadi bangsa yang selalu dimangsa bangsa lainnya,” ujarnya.
Menurut pemerintah, tambah Fahri, membaca berita koran ekonomi terdepan di Jepang itu, GDP Indonesia peringkat 16 dunia, bila kondisi sospol ekonomi stabil seperti sekarang, Indonesia 2050 peringkat 4 dunia mengalahkan Jepang. Ditulis juga Jokowi telah merintis ekonomi terbuka.
“Kalau mendengar cara pemerintah mempersepsikan berita Nikkei Shimbun itu, Tentu kita akan merasa jumawa, bagaimana tidak sekitar 25 tahun lagi bangsa ini akan mengalahkan Jepang tapi apakah demikian ?” tanyanya.
Padahal, menurut Fahri kalau dibaca secara mendalam, berita tersebut sebenarnya tak ada yang baru. World Bank report 2016, nilai PDB 1 Indonesia berdasarkan PPP tahun 2016 telah menembus 3.022 miliar USD (peringkat 8). Sedangkan Jepang 5.266 miliar USD (peringkat 4).
Berdasarkan current year 2016, GDP Indonesia sebesar 932 miliar USD (peringkat 16), sedangkan Jepang 4.939 miliar USD (peringkat 3). Jika dihitung secara linier dan asumsikan growth Indonesia konsisten saja 5% hingga 2050 sedangkan Jepang hanya tumbuh 0-1 persen.
“Maka tidak mustahil Indonesia akan bisa mengalahkan Jepang. Tapi kita perlu hati-hati, kadang pertumbujan GDP bisa seperti pisau bermata dua, bisa memberikan informasi menggembirakan, tapi bisa menjadi fatamorgana yang bisa sirna seketika,” katanya mengingatkan.
Kata anggota DPR dari Dapil NTB itu, apalah arti angka tanpa memahami makna di dalamnya. Angka pertumbuhan GDP hanyalah kulit, karena dibalik itu semua ada strategi kebijakan yang secara fundamen bisa berbeda antar negara.
Masing-masing negara punya cara berbeda dalam menjaga kualitas pertumbuhannya.
“Saya ulang lagi, GDP adalah indeks komposit yang terbentuk oleh pengeluaran konsumsi (c) + pengeluaran investasi (I) + pengeluaran pemerintah (G) + selisih ekspor impor (xm). Proporsi setiap komponen tersebut bisa berbeda tiap negara walau mungkin hasil akhirnya sama,” katanya.
Karena itu, menurut dia perlu disadari bahwa nilai GDP indonesia setengahnya lebih (54%) ditopang oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga. Jumlah penduduk Indonesia lebih besar dibanding Jepang atau bahkan negara maju lainnya.
“Konsumsi kita tentu banyak. Tapi, Jepang atau negara maju tidak mengandalkan konsumsi rumah tangga sebagai penopang utama GDP, tetapi investasi dan industrialisasi penyokong struktur GDP-nya. Jepang dan negara maju bisa menggenjot investasi dan bukan konsumsi rumah tangga,” terangnya lagi.
Dengan struktur GDP yang seperti itu, lanjut Fahri Hamzah, Jepang dan negara maju relatif lebih produktif. Indonesia jelas lebih konsumtif. Ancaman Indonesia ke depan hanya jadi pangsa pasar bagi negara maju.
“Jadi rebutan negara-negara industrialis! Di mana berdikari? Era SBY, rasio utang terhadap GDP sempat turun sampai 22,9%, era Jokowi merangkak naik. 2014 (24,7%), 2015 (26,9%) dan akhir 2016 (27%). Jika angka ini terus naik, boleh jadi GDP makin besar tapi utang juga tambah besar, beban masa depan tambah berat,” ujarnya mengingatkan.
Lantas, Fahri pun mengingatkan kalau utanng tersebut akan jatuh tempo, apalagi beban bunganya saja sudah lebih dari 200 triliun.
Ia khawatir ketika jatuh tempo negara akan limbung dan tersungkur. Sekarang banyak penganjur hutang bahkan menikmati uang kotor dari negara yang ekonominya tidak bersih.
Karenanya Fahri mengingatkan Presiden Jokowi supaya utang jangan dijadikan sebagai tulang punggung pembangunan.
Apalagi, tahun 2045 bangsa ini akan memasuki 100 tahun kemerdekaanya, dan kalau hari ini perintah gagal memberikan pondasi yang kuat, maka generasi baru akan jadi pecundang di masa depan.
“Nah, teman-teman milenial jadi paham kan makna dibalik angka GDP kita. Itu sangat tergantung pada strategi dan kinerja pemerintah sekarang. Ingat! biar bangsa kita nggak konsumtif, industri digenjot dong, jangan impor terus!” Fahri mengingatkan.
Padahal, menurut dia data BPS beberapa tahun terakhir sudah memberi warning bahwa industri kita mengalami kemunduran. Kita masuk dalam jurang deindustrialisasi, ditambah lagi kontribusi sektor manufaktur terhadap GDP merosot terus.
“Pak Jokowi harus sadar bahaya ini. Ini butuh langkah strategis! Jangan terlampau optimis dan senang dengan angka-angka GDP. Ini menteri-menteri jangan kerja sendiri-sendiri. Harus ada orkestra membangun industri tidak bisa nafsi-nafsi kayak sekarang,” katanya.
Fahri melihat karena Presiden Jokowi dan para Menteri kurang seirama, karena disaat Jokowi blusukan bagi-bagi sertifikat tanah, kartu-kartu sejahtera dan sepeda, para mentri ada yang minta tambahan utang terus, jualin BUMN, minta suntikan modal (PMN) tapi kok industri malah makin terpuruk?
“Sebagai dirijen, Bapak lah yang harus mengatur ritme agar harmoninya mengalir indah. Dulu bapak waktu bela ESEMKA masih Walikota. Jadi gubernur belum juga. Ini sudah jadi presiden pak. Mohon maaf ini soal orkestra,” ujarnya.
Diingatkan bahwa tugas presiden tidak bisa hanya memimpin rapat. Tapi memimpin perakitan ide yang akan menjadi rakitan kekuatan nasional di semua bidang, baik politik, ekonomi, industri dan semuanya. Ini yang menurut Fahri, alpa selama ini.
“Ayo Pak kita punya janji dan utang yang harus kita tunaikan kepada para pendiri bangsa dan juga pada generasi yang kita sebut millenial ini. Jangan biarkan mereka menjadi kuli dinegerinya sendiri saat jumlah mereka mencapai puncaknya," pungkasnya.